10 Puisi Karya Chairil Anwar dan Perjalanan Kariernya
Perkembangan sastra di Indonesia diketahui sudah dimulai sejak zaman sejarah, yakni sebelum abad ke-20. Di dalam perjalanannya, terdapat sejumlah sastrawan yang namanya populer hingga sekarang. Sebut saja Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Siti Rukiah, dan lain-lain.
Meski raganya tak lagi ada, karya mereka tetap dikenang hingga sekarang. Adapun yang akan dibahas lebih lanjut pada tulisan ini yaitu karya-karya Chairil Anwar.
Profil dan Perjalanan Chairil Anwar sebagai Penyair
Chairil Anwar dikenal sebagai penyair kondang dengan segudang karya penuh makna dan masih hangat diperbincangkan di masa sekarang. Beberapa karya populernya yaitu puisi Aku, Sendiri, Krawang-Bekasi, Sia-sia, Penghidupan, dan masih banyak lagi.
Chairil Anwar lahir pada 26 Juli 1922, di Medan, Sumatera Timur. Ia dibesarkan di tanah kelahiran dan akhirnya pindah ke Batavia (Jakarta) pada tahun 1940 bersama Sang Ibu.
Dari situlah, Chairil Anwar banyak belajar dan menggubah karya sastra. Pada tahun 1942, ia mengeluarkan karya pertamanya yang berjudul Nisan.
Ia menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Setelahnya, dilanjutkan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Diketahui bahwa sejak remaja, Chairil Anwar sudah memiliki keinginan untuk menjadi seniman.
Chairil Anwar menguasai bahasa asing, yaitu Inggris, Belanda, dan Jerman. Kemampuan tersebut membuatnya banyak membaca buku karya pengarang internasional seperti W. H. Auden, J. Slaurhoff, Edgar du Perron, Hendrik Marsman, Rainer Maria Rilke, dan Archibald MacLeish. Dari situlah pengaruh gaya penulisannya berasal.
Merangkum dari Tinuk pada tulisannya yang berjudul Chairil Anwar: Poet of a Generation (2002), tulisan Chairil Anwar cenderung membahas tentang kematian. Ia pertama kali menyalurkan karyanya melalui majalah Pandji Pustaka.
Namun proses tersebut tidak mudah dan diterima. Lantaran karya Chairil Anwar yang dinilai sangat individualistis dan tidak sesuai dengan tema Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Meski begitu, hambatan tersebut tidak membuat karyanya berhenti beredar. Puisi karya Chairil Anwar akhirnya dipublikasikan secara masif melalui kertas selama pendudukan Jepang sebelum tahun 1945.
Puisi Karya Chairil Anwar
Berikut kumpulan puisi karya Chairil Anwar:
1. Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
2. Tak Sepadan
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
3. Pelarian
Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
"Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!"
Tak kuasa ...terengkam
Ia dicengkam malam.
4. Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan 'nusia
5. Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
6. Hukum
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.
Bungkuk jalannya - Lesu
Pucat mukanya - Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling.
Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!
7. Suara Malam
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan "Kebakaran di Hutan"*
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
Dan sekali akan menghadap cahaya.
Ya Allah! Badanku terbakar - segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.
8. Kesabaran
Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba
9. Bercerai
Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini
Benar belum puas serah-menyerah
Darah masih berbusah-busah.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Kita musti bercerai
Biar surya 'kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur-membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur.
10. Sendiri
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Itulah kumpulan puisi karya Chairil Anwar yang bisa dijadikan pelajaran. Pemilihan diksinya menggambarkan ciri sastra yang populer pada zaman tersebut. Meski begitu, Chairil Anwar tetap bisa dijadikan kiblat untuk Anda yang ingin berkarya atau sekedar menyukai puisi.