Apa Itu Rebo Wekasan dalam Islam? Ini Penjelasannya
Rabu Pungkasan atau yang juga dikenal sebagai Rebo Wekasan dalam Bahasa Jawa, merupakan hari Rabu terakhir dalam bulan Safar pada Kalender Hijriyah. Di kalangan sebagian masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura, Rebo Wekasan dianggap sebagai hari yang membawa musibah.
Untuk menghindari musibah tersebut, pada hari Rebo Wekasan masyarakat biasanya melakukan beberapa kegiatan. Seperti melakukan tahlilan, membagikan makanan dalam bentuk gunungan atau selamatan, serta melaksanakan shalat sunah lidaf'il bala secara bersama-sama.
Bulan Shafar sendiri adalah bulan kedua dalam penanggalan Hijriyah Islam. Sebagaimana bulan-bulan lainnya, bulan ini berjalan sesuai dengan kehendak Allah dan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan. Berkaitan dengan itu, simak penjelasan apa itu Rebo Wekasan dalam Islam sebagai berikut.
Apa Itu Rebo Wekasan dalam Islam?
Terdapat keyakinan yang umum di kalangan muslim di Indonesia bahwa Rabu terakhir bulan Safar adalah hari yang sangat buruk. Keyakinan ini berasal dari para ulama sufi yang mengklaim bahwa ribuan musibah terjadi pada hari tersebut.
Banyak orang yang mengikuti dan mempercayai klaim ini sebagai kebenaran sehingga beberapa tradisi dilakukan untuk menghindari musibah tersebut. Hal ini berawal saat bangsa Jahiliyah di masa lampau kerap menilai bahwa bulan Safar adalah bulan sial. Anggapan sial ini sudah dikenal oleh masyarakat jahiliyah dan beberapa masyarakat muslim hingga kini.
Berkaitan dengan anggapan ini, Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).
Ungkapan hadits laa 'adwaa' atau tidak ada penularan penyakit tersebut bertujuan untuk menyatakan keyakinan golongan jahiliyah yang keliru, yaitu bahwa penyakit dapat menular dengan sendirinya tanpa melibatkan kehendak Allah. Baik sakit maupun sehat, musibah atau keselamatan, semuanya bergantung pada kehendak Allah.
Penularan hanya merupakan sarana untuk melaksanakan takdir Allah. Namun, walaupun semuanya kembali kepada Allah, manusia tetap diwajibkan untuk berusaha agar terhindar dari segala musibah. Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah unta yang sakit didatangkan pada unta yang sehat."
Maksud hadits laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan hal-hal buruk adalah bahwa kita hanya bergantung pada Allah, bukan pada makhluk atau ramalan. Hanya Allah yang menentukan yang baik dan buruk, yang selamat dan sial, yang kaya dan miskin.
Oleh karena itu, zaman atau masa tidak berpengaruh terhadap takdir Allah. Seperti waktu-waktu lainnya, ada takdir buruk dan takdir baik.
Empat hal yang disebutkan dalam hadis di atas adalah hal-hal yang tidak disukai oleh Rasulullah. Kedua yakni yang menunjukkan pentingnya tawakal kepada Allah dan memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak lemah ketika menghadapi hal-hal tersebut.
Jika seorang Muslim terlalu terfokus pada hal-hal tersebut, maka ada dua kemungkinan. Pertama, dia mengikuti perasaan malangnya dengan memberikan prioritas atau meresponsnya, yang berarti dia mengandalkan sesuatu yang tidak nyata.
Kedua, dia tidak mengikuti perasaan malang tersebut dengan melanjutkan aktivitasnya, tetapi dalam hatinya masih ada kekhawatiran atau keragu-raguan. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, seharusnya dia tidak mengikuti perasaan tersebut sama sekali dan hanya bergantung pada Allah.
Penolakan terhadap keempat hal tersebut bukan berarti menolak keberadaannya, karena memang hal tersebut ada, yang ditolak adalah pengaruhnya. Hanya Allah-lah yang memberikan pengaruh.
Selama alasan tersebut dapat dimengerti, maka alasan tersebut adalah benar. Namun jika alasan tersebut hanya ilusi, maka alasan tersebut adalah salah.
Menurut pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam "Al-Fatawa al-Haditsiyah” yakni:
“Barang siapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Namun dalam hadist sahih yang lain, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, hari Rabu sebenarnya adalah hari ketika doa Nabi Muhammad SAW dikabulkan setelah ia berdoa di masjid al-Fath mulai dari hari Senin.
Akhirnya, Sahabat Jabir bin Abdullah, ketika memiliki urusan penting, ia berdoa pada hari Rabu antara shalat Dhuhur dan Ashar, yang telah ia buktikan sebagai waktu yang paling mustajab.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ: دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ، مَسْجِدِ الْفَتْحِ، يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وَيَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ، فَاسْتُجِيبَ لَهُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ مِنْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ قَالَ جَابِرٌ: وَلَمْ يَنْزِلْ بِي أَمْرٌ مُهِمٌّ غائِظٌ إِلَّا تَوَخَّيْتُ تِلْكَ السَّاعَةَ، فَدَعَوْتُ اللَّهَ فِيهِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ، إِلَّا عَرَفْتُ الْإِجَابَةَ
Artinya: "Dari Abdurrahman bin Ka'ab, dia berkata: “Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: “Rasulullah berdoa di masjid ini, masjid al-Fath, pada hari Senin, Selasa dan Rabu, kemudian dikabulkan di hari Rabu di antara waktu dua Shalat [Dhuhur dan Ashar]”. Jabir Berkata: “Tak pernah terjadi hal yang sangat penting bagiku yang aku sengaja menunggu waktu itu kemudian aku berdoa kepada Allah saat itu di antara dua shalat pada hari Rabu, kecuali setahuku pasti dikabulkan.” (al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, halaman 246)