• Biaya untuk pembangunan kereta cepat melonjak US$ 1,9 miliar menjadi US$ 8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun. 
  • Proyek ini sudah lama bermasalah, bahkan sebelum tiang pancang pertama terpasang.
  • Usai pembangunan, masalah keekonomian secara komersial membayangi proyek kereta cepat.

Janji enam tahun lalu itu ternyata tak ditunaikan. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kini dapat memakai anggaran pendapatan dan belanja negara alias APBN.

Padahal, Presiden Joko Widodo sempat menyebut hal berbeda.  “Kita tidak ingin beri beban pada APBN. Jadi, sudah saya putuskan kereta cepat tidak gunakan APBN. Tidak ada penjaminan dari pemerintah. Oleh sebab itu, saya serahkan kepada BUMN untuk melakukan B to B, bisnis,” katanya, dikutip dari situs Sekretariat Kabinet pada 3 September 2015.

Namun, masalah keuangan terus melanda mega proyek tersebut. Biayanya membengkak US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 27 triliun. Proyek yang awalnya akan menghabiskan dana US$ 6,07 miliar, sekarang menjadi US$ 8 miliar atau sekitar Rp 114,4 triliun.

Jokowi merespons masalah itu dengan membentuk Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mendapat tugas khusus untuk memimpinnya.

Ini bukan pertama kali Luhut mendapat tugas mahaberat. Sebelumnya, jenderal bintang empat itu mendapat tugas sebagai koordinator pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM Darurat Jawa-Bali, wakil ketua komite penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (KPC-PEN). 

Kembali ke soal kereta cepat, anggota komitenya terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Pembentukan komite itu tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

Dalam perpres bertanggal 6 Oktober 2021 tersebut, pemerintah menugaskan konsorsium BUMN untuk mempercepat penyelenggaraan proyek kereta cepat. Pemimpin konsorsium berganti dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) alias KAI. Lalu, anggotanya adalah Wijaya Karya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII.

Pasal 4 Perpres itu tertulis, pendanaan dalam rangka pelaksanaan penugasan pengerjaan proyek kereta cepat dapat bersumber dari penerbitan obligasi, pinjaman konsorsium, dan pendanaan lain, yakni pembiayaan anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN. 

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan, ada empat faktor yang membuat anggaran proyek kereta cepat naik. Pertama, pandemi Covid-19. “Corona datang dan membuat beberapa hal terhambat,” katanya, Sabtu (9/10). 

Kedua, terganggunya arus kas alias cash flow para perusahaan BUMN yang menjadi anggota konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Ketiga, terjadi perkembangan desain dan geografis selama pembangunan proyek. Terakhir, kenaikan harga tanah. 

Kementerian BUMN akan meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan alias BPKP untuk mengaudit terlebih dulu proyek kereta cepat. Pemerintah akan memberikan dana tambahan berdasarkan audit tersebut.

Sekretaris Perusahaan KCIC Mirza Soraya mengatakan, ada biaya pembangunan yang tidak terduga. Terutama terkait pengadaan lahan dan relokasi fasilitas umum serta sosial.  “Ada hal-hal tidak terprediksi saat perencanaan disusun dan ditemui saat pembangunan berlangsung,” katanya pada Jumat lalu. 

Perusahaan sudah menempuh kebijakan untuk menekan biaya. Skema operasional dan perawatan pun berubah. Sebagian besar pekerja di bidang ini akan melibatkan sumber daya manusia terlatih dari KAI.

PROGRES PEMBANGUNAN KERETA CEPAT JAKARTA-BANDUNG
Progres pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. (ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/foc.)

Proyek Kereta Cepat Bermasalah Sejak Awal

Sebelum tiang pancang pertama terpasang pada 21 Januari 2016, kereta api cepat Jakarta-Bandung sudah menimbulkan berbagai persoalan. Proyek ini mendapat penolakan, bahkan oleh menteri perhubungan saat itu, Ignasius Jonan.

Katadata.co.id sempat beberapa kali menuliskan soal kisruh ini. Bermula pada awal 2015 ketika ada dua negara yang akan masuk dalam proyek tersebut, yaitu Jepang dan Tiongkok. 

Rencana awalnya adalah kereta super kilat ini akan menghubungkan Jakarta-Bandung-Surabaya. Pihak Jepang, melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), yang lebih dulu menyelesaikan studi kelayakan. Tiongkok menyusul kemudian.

Dari hasil studi tahap pertama, JICA merekomendasikan pemerintah untuk membentuk BUMN khusus kereta cepat. Total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 60 triliun. Sebesar 74% dibebankan ke perusahaan pelat merah. Lalu, 16% pemerintah dan 10% swasta. 

Jonan meminta agar proyek kereta cepat itu tidak memakai anggaran negara. Bahkan ia juga mengatakan agar APBN sepanjang pemerintahan Joko Widodo tidak dialokasikan untuk proyek kereta cepat.

Ia khawatir anggaran negara akan bergeser dari program prioritas apabila dipakai untuk mendanai kereta cepat. “Pokoknya dikerjakan tanpa APBN. Pembebasan lahan juga tidak boleh,” kata Jonan pada April 2015. 

Pada pertengahan Juni 2015, saat melakukan kunjungan ke Tiongkok, Menteri BUMN Rini Soemarno menandatangani perjanjian kerja sama bantuan pendanaan terhadap sejumlah BUMN di Indonesia. Nilainya mencapai US$ 40 miliar, atau sekitar Rp 560 triliun, salah satunya dari China Development Bank.

Beberapa bulan kemudian pemerintah sepakat Tiongkok menggarap kereta cepat Jakarta-Bandung. Wijaya Karya ditunjuk untuk memimipin konsorsium. Anggotanya adalah KAI, Jasa Marga, dan PTPN VIII. Keempat perusahaan pelat merah ini membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan bekerja sama dengan China Railway International Co Ltd.

Keberhasilan Tiongkok menggarap proyek tersebut lalu menjadi perhatian media massa di Asia Timur. Situs daring di Taiwan, chinatimes.com, menyoroti kemenangan Negeri Panda atas Negeri Sakura dan sejumlah kejanggalan yang muncul.

Sebuah informasi menyebut paket dari Tiongkok tidak lebih menarik dari Jepang. Biayanya bahkan lebih tinggi US$ 600 juta atau sekitar Rp 8,4 triliun dari tawaran kompetitornya. 

Halaman:
Reporter: Intan Nirmala Sari, Abdul Azis Said
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement