Kejar Pendapatan Rp 1,39 triliun Tahun Ini, Ini Strategi MRT Jakarta
Pandemi yang berlanjut di tahun 2021 serta penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) memaksa PT MRT Jakarta memutar otak untuk mendongrak pendapatan. MRT Jakarta pun kini lebih memilih untuk fokus menggarap pendapatan non-fare box (non tiket) untuk meningkatkan penerimaan.
Kendati dihadang pandemi, MRT Jakarta optimis bisa mengeruk pendapatan sekitar Rp 1,39 triliun tahun ini. Angka tersebut naik drastis dibandingkan dengan yang dicapai pada tahun 2020 sebesar Rp 1,09 triliun.
Direktur Utama PT MRT Jakarta William P. Sabandar memaparkan MRT Jakarta pada tahun ini membidik pendapatan sebesar Rp 450 miliar dari non-farebox, Rp 800-900 miliar dari subsidi pemerintah, dan Rp 40 miliar dari farebox (tiket).
Pendapatan non-farebox yang ditargetkan tahun ini jauh lebih besar dibandingkan yang diperoleh pada tahun 2020 sebesar Rp 382, 7 miliar. Hingga Juli 2021, MRT Jakarta telah mengumpulkan pendapatan non-farebox sebesar Rp 258 miliar.
Laporan Tahunan MRT Jakarta menyebutkan pendapatan mereka pada tahun 2020 dari farebox mencapai Rp 82,03 miliar dan dari subsidi sebesar Rp 620,8 miliar.
“Perlu startegi lanjutan untuk membuat struktur penerimaan di luar pendapatan farebox yang tergerus akibat menurunnya jumlah penumpang,” ujar William saat diskusi virtual, Jumat (30/7).
Sejak awal tahun hingga Rabu (28/7), total penumpang yang menggunakan moda MRT mencapai 3,83 juta atau dengan rata-rata penumpang per hari mencapai 18.303. Jumlah ini menurun drastis pada Juli. Selama 1-28 Juli, MRT Jakarta hanya melayani 124.593 penumpang atau 4.450 penumpang per hari, jauh di bawah rata rata harian pada bulan Juni sebanyak 22.686 penumpang per hari.
Seeprti diketahui, pemerintah menerapkan PPKM Darurat sejak 3 Juli yang kemudian berganti nama menjadi PPM Level 4 sejak 26 Juli 2021.
William mengatakan sejumlah strategi sudah disiapkan untuk mendongrak pendapatan non-farebox diantaranya adalah periklanan dalam dan luar stasiun, kerja sama dengan layanan perusahaan telekomunikasi, kerja sama dengan penamaan stasiun, menggandeng lebih banyak tenant retail, serta kerja sama payment gateway.
“Proses pemilihan mitra strategis periklanan CTVT (cooling tower & ventilation tower) telah memasuki tahap akhir untuk penetapan pemenang dengan memperhatikan kondisi pandemi yang berdampak pada bisnis agar dapat memberikan keuntungan,” ujarnya.
MRT Jakarta juga memaksimalkan pendapatan non-fare box (non tiket) dengan menyewakan Co-working dan Business Space-Lounge di stasiun MRT.
“Co-working Space di Statsiun Bundaran Hotel Indonesia sudah siap beroperasi namun karena masih berlaku PPKM maka belum dibuka untukk umum,” ujar William.
Co-Working Space lain dengan konsep Business Space-Lounge juga disiapkan di Stasiun Blok M. Nantinya MRT Business Space-Lounge akan memiliki kapasitas 26 orang yang terdiri dari snack dan drink bar.
MRT Jakarta juga akan menggandeng sejumlah mitra tenant retail baru untuk mendongkrak pendapatan mulai dari Jago Coffee, UMKM Batch 4, dan Vending machine Haivaianas. Jago Coffee siap beroperasi di 13 stasiun sementara UMKM Batch 4 kini memasuki design both. Vending Machine Haivaianas telah beroperasi di Stasiun Bunderan HI sejak awal Juli.
MRT juga akan berintegrasi dengan sejumlah aplikasi antara mitra start-up an MRT Jakarta seperti Cakap, Glints ExpertClass, Educourse, dan Wecare.id.
Sementara itu, MRT Jakarta juga akan melanjutkan proyek lima kawasan Transit Oriented Development (OTD) yang beroperasi di kawasan beroperasi transit seperti dikawasan Fatmwati, Dukuh atas dan Blok M.
William juga menegaskan MRT Jakarta tengah melanjutkan pembangunan proyek fase 2A sepanjang 5,8 km dengan enam stasiun bawah tanah (Thamrin, Monas, Harmoni, Sawah Besar, Mangga Besar, Glodok).
“Per 25 Juli, progress fisiknya mencapai 19,59%,” tutur William.