Rupiah Dibuka Melemah Rp 14.265 / US$ Imbas Lonjakan Covid-19 di Eropa
Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,3% ke level Rp 14.265 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Rupiah diramal melanjutkan pelemahan di tengah lonjakan kasus Covid-19 di Eropa.
Mengutip Bloomberg, rupiah berbalik menguat ke Rp 14.249 pada pukul 09.10 WIB. Tetapi belum mencapai level penutupan akhir pekan lalu Rp 14.232 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya juga melemah. Yen Jepang terkoreksi 0,17%, bersama dolar Hong Kong 0,01%, dolar Singapura 0,05%, dolar Taiwan 0,06%, won Korea Selatan 0,17%, peso Filipina 0,48%.
Yuan Cina, ringgit Malaysia dan bath Thailand juga melemah masing-masing 0,01%, 00,06% dan 0,1%. Rupe India satu-satunya yang menguat yaitu 0,05%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan kembali melemah ke level Rp 14.300, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.200 per dolar AS.
Tekanan terhadap nilai tukar terutama berasal dari memburuknya pandemi di Eropa.
"Meningkatnya kasus Covid-19 di Eropa yang memicu lockdown penuh di beberapa negara bisa memicu beralihnya investasi ke aset yang lebih aman," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (22/11).
Perekonomian terbesar Eropa, Jerman kembali dihantam gelombang keempat Covid-19.
Laporan kasus positif Covid-19 harian di Jerman sempat menyentuh 65.371 kasus pada Kamis (18/11). Ini merupakan rekor tertinggi yang pernah dilaporkan oleh negara panser itu sepanjang pandemi.
Jumlah itu juga setara 163 kali lebih banyak dari kasus Indonesia pada hari yang sama yakni 400 kasus positif.
Pada hari yang sama Austria juga mencatat rekor tertingginya yakni 15.145 kasus positif baru.
Rawat inap, kematian, jumlah pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) juga meningkat pesat.
Kondisi ini mendorong pemerintah Austria kembali memberlakukan lockdown atau penguncian wilayah mulai hari ini hingga maksimal 20 hari ke depan.
Lonjakan kasus juga dialami Belanda dengan laporan raa-rata di atas 20 ribu kasus per hari pada akhir pekan lalu.
Kondisi ini juga mendorong pemerintah setempat kembali memberlakukan sejumlah restriksi bagi warga yang belum divaksin.
Restoran dan pertokoan juga harus tutup lebih awal, hingga pertandingan olahraga yang digelar tertutup.
Selain lonjakan kasus Covid-19 di Eropa, Ariston juga mengatakan tekanan rupiah datang dari kembali menguatnya sentimen tapering off alias pengetatan kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Selain penantian terhadap dimulainya pengurangan pembelian aset mulai akhir bulan ini, pasar mengantisipasi percepatan kenaikan bunga acuan The Fed.
"Dua anggota dewan gubernur The Fed pada hari Jumat yang lalu menyebutkan perlunya mempercepat proses tapering karena mempertimbangkan membaiknya ekonomi dan kenaikan inflasi. Mempercepat proses tapering akan mempercepat kenaikan suku bunga acuan AS," kata Ariston.
Sejumlah pejabat The Fed belakangan menyerukan percepatan pada pengurangan pembelian aset.
Wakil Ketua The Fed Richard Clarida pada Jumat (19/11) mengatakan akan mendorong pembahasan percepata laju pengurangan pembelian aset pada pertemuan pengambil kebijakan pada Desember mendatang.
Pada hari yang sama, Dewan Gubernur The Fed Christopher Waller juga menyerukan agar bank sentral menggandakan pengurangan pembelian obligasinya.
Kemudian pembelian diakhiri April mendatang. Ini membuka peluang kenaikan bunga acuan yang lebih cepat jika pengurangan aset berakhir lebih awal dari rencana pertengahan tahun depan.
Sebagai informasi, The Fed berencana memulai pengurangan pembelian aset mulai akhir November dan berakhir pada pertengahan 2022.
Pengurangan pembelian aset sebesar US$ 15 miliar dari pembelian rutin sebesar US$ 120 miliar.
Senada dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto juga mengatakan tekanan pada nilai tukar terutama datang dari rencana tapering off The Fed.
Meski demikian, sejumlah data ekonomi domestik dapat menahan pelemahan tidak terlalu dalam.
"Pergerakan Rupiah masih didukung oleh kondisi domestik yang cukup baik, kepercayaan masyarakat sudah berada pada pre pandemic level, dan surplus neraca perdagangan yg bisa berdampak kepada current account," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Transaksi berjalan pada kuartal ketiga tahun ini berhasil surplus setelah terus defisit dua kuartal beturut-turut.
Surplus transaksi berjalan sebesar US$ 4,5 miliar atau setara 1,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Perbaikan kinerja ini terutama ditopang neraca perdagangan yang terus cetak surplus jumbo.
Selain itu, beberapa indikator perbaikan lainnya yakni membaiknya keyakinan konsumen, indeks PMI Manufaktur yang ekspansi semakin kuat, hingga penjualan ritel yang mulai tumbuh pada Oktober.