Rupiah Menguat ke 14.200 per US$ Didorong Ekspektasi Surplus Dagang
Nilai tukar rupiah dibuka menguat 0,1% ke level Rp 14.206 per dolar di pasar spot pagi ini. Rupiah menguat seiring ekspektasi neraca perdagangan pada Oktober yang diramal kembali cetak surplus sekalipun lebih kecil dari bulan sebelumnya.
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan penguatan ke arah Rp 14.205 pada pukul 09.40 WIB. Posisi ini masih melemah dari penutupan pekan lalu di level Rp 14.219 per dolar AS.
Mata uang Asia lainnya bergerak bervariasi. Yen Jepang menguat 0,05%, dolar Singapura dan rupee India 0,1%, dolar Taiwan 0,19%, ringgit Malaysia 0,06% dan bath Thailand 0,26%. Sementara dolar Hong Kong terkoreksi 0,01%, won Korea Selatan dan peso Filipina masing-masing 0,02% dan yuan Cina 0,04%.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan nilai tukar menguat di kisaran Rp 14.180 per dolar AS, dengan potensi pelemahan di level Rp 14.250. Penguatan dipengaruhi ekspektasi pasar terhadap kinerja neraca dagang yang masih akan mencetak surplus sekalipun lebih kecil.
"Kemungkinan penurunan surplus, tapi bisa jadi disikapi positif oleh pelaku pasar karena ekonomi dalam negeri mulai bergerak lagi yang membutuhkan impor, asal tidak jadi defisit," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (15/11)
Surplus neraca dagang pada Oktober diperkirakan akan turun dibandingkan bulan sebelumnya. Sejumlah ekonom memperkirakan surplus neraca dagang di kisran US$ 3,87 miliar-US$ 4 miliar. Kinerja ekspor melemah terutama dari komoditas batu bara, sedangkan impor meningkat.
Pelamahan pada sisi ekspor salah satunya dipengaruhi menurunnya permintaan dari mitra dagang utama RI, Cina yang ekonominya tertekan karena inflasi tinggi. Selain itu, penuruna harga beberapa komoditas yang menjadi alasan turunnya nilai ekspor bulan lalu.
Dari sisi impor, pengiriman barang ke dalam negeri diperkirakan meningkat seiring membaiknya prospek industri domestik. Karena itu, ekspor bahan baku/penolong dan barang modal diperkirakan meningkat. Di sisi lain, impor barang konsumsi juga diramal naik seiring periode musim belanja menuju akhir tahun.
Surplus neraca dagang bulan Oktober diperkirakan akan lebih kecil dari kinerja bulan sebelumnya US$ 4,37 miliar. Penurunan bulan lalu diperkirakan akan menjadi perlambatan dalam dua bulan beruntun setelah cetak rekor tertinggi dalam sejarah pada Agustus sebesar US$ 4,74 miliar.
Selain itu, sentimen pengungkit rupiah lainnya yakni membaiknya sentimen pasar terhadap aset beriko. Ini tercermin dari kenaikan indeks saham utama global baik pada penutupan indeks di AS dan Eropa akhir pekan lalu maupun pergerakan indeks saham Asia pagi ini.
"Membaiknya pendapatan perusahaan menjadi cerminan perbaikan ekonomi di masa pandemi yang mendorong pelaku pasar masuk kembali ke aset berisiko," kata Ariston.
Sejumlah perusahaan merilis kinerja kuartal ketiga yang menjanjikan pekan lalu. Airbnb melaporkan pendapatan US$ 2,24 miliar, naik 67% secara tahunan. PayPal mencatat pendapatan US$ 6,18 miliar, naik 13% secara tahunan. Disney melaporkan pendapatan sebesar US$ 18,53 miliar, naik 26,02% dari tahun lalu.
Indeks utama AS ditutup menguat pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial menguat 0,5%, S&P 500 sebesar 0,72% dan Nasdaq Composite 1%. Indeks utama Eropa yang menguat yakni DAX Jerman sebesar 0,07% dan CAC 40 Perancis 0,45%.
Indeks saham Asia mayoritas menguat. Nikkei 225 Jepang menguat 0,56%, Shanghai Composite Cina 0,1%, Hang Seng Hong Kong 0,48%, Kospi Korea Selatan 1,07%, Taiwan Taiex 0,71%. Sedangkan Strait Times Singapura stagnan dan IHSG terkoreksi 0,6%.
Senada, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto juga memperkirakan rupiah akan menguat seiring ekspektasi neraca dagang yang akan kembali cetak surplus. Rupiah diramal menguat di kisaran Rp 14.208 per dolar AS, dengan potensi pelemahan di Rp 14.275.
Meski begitu, Rully mengatakan pergerakan rupiah masih akan dibayangi oleh sentimen global terutama tekanan inflasi. "Dari eksternal terutama inflasi memang sentimennya masih negatif," kata Rully kapada Katadata.co.id.
Pasar terutama mengantisipasi lonjakan inflasi di dua perekonomian terbesar dunia, AS dan Cina. Rully mengatakan, tekanan inflasi di AS turut mendorong sentimen tapering off bank sentral kembali menguat. Pasar memperkirakan bank sentral akan menaikkan bunga acuan lebih cepat yakni pada akhir tahun 2022.
Di sisi lain, Cina juga mencatatkan inflasi tinggi, terutama pada harga-harga di tingkat produsen. Inflasi di Cina ini dikhawatirkan mempengaruhi prospek pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung di negeri panda itu. Seiring perlambatan tersebut kekhawatiran terutama pada efek limpahannya ke sejumlah negara mitranya, termasuk Indonesia.