• Pemerintah kembali mengajukan defisit anggaran di atas 3 % dari PDB dalam mengatasi Covid-19.
  • Pasal-pasal RAPBN 2022 memberi keleluasaan pemerintah untuk merespons kondisi yang tidak terduga seperti pandemi.
  • Daerah didorong serius mengalokasikan anggaran pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Pepatah usang tersebut menjadi pegangan pemerintah dalam menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2022.  Pemerintah membuat RAPBN 2022 yang lebih responsif dan fleksibel untuk menghadapi pandemi yang masih panjang. Lalu, seberapa jitu langkah ini?

Dalam Buku Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2022 setebal  480 halaman serta RUU RAPBN Tahun 2022 sebanyak 140 halaman, disebutkan sejumlah wewenang pemerintah untuk merespons pandemi dan ancaman yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi.

Sebenarnya, rancangan yang fleksibel pernah dilakukan pada tahun-tahun lalu terkait kondisi yang mendesak. Contohnya adalah pada UU APBN 2009. Ketika itu pemerintah mencantumkan kata "dalam keadaan darurat" untuk menggeser anggaran tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Langkah ini bentuk antisipasi setelah ada hantaman krisis ekonomi global di tahun 2008.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Hidayat Amir mengatakan alasan di balik APBN Tahun 2022 yang dibuat lebih responsif.

"Karena sebelumnya tidak ada kondisi seperti itu. Dengan pasal itu maka kita jadi lebih siap dan kita bisa speed up adjusment kalau terjadi apa-apa. Dengan persiapan yang lebih baik, implementasinya pun akan lebih baik," kata Hidayat kepada Katadata, Kamis (19/8).

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak Maret 2020. Pemerintah kemudian membuat sejumlah kebijakan mendesak yang memungkinkan penggunaan anggaran lebih besar dalam penanganan Covid-19. Pasalnya, APBN 2020 diketok pada November 2019 saat Covid-19 belum menjadi wabah sehingga tidak bisa memitigasi dampak pandemi.

Salah satu kebijakan mendesak dan "extraordinary"  yang diambil pemerintah yakni menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Payung hukum ini memungkinkan pemerintah menaikkan defisit anggaran di atas 3% dari PDB, di atas ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

 Sementara itu, APBN 2021 disusun pada pertengahan tahun 2020 dan disahkan pada September 2020.
"Kondisinya saat itu tentu berbeda dengan yang ada di tahun 2021. Pada saat itu belum ada varian Delta," ujarnya.

Covid-19 varian Delta yang menyebar sejak April 2021 membuat banyak negara termasuk Indonesia kelimpungan. Varian ini menyebarkan virus dengan cepat. Keganasan Delta juga membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi lebih pesimis

Melanjutkan kebijakan 2020 dan 2021, pemerintah tetap membuka defisit di atas 3%. Harapannya, pemerintah lebih responsif menghadapi persoalan tidak terduga seperti varian Delta. 

Defisit tahun 2022 diajukan sebesar Rp 868 triliun, atau 4,85 % dari PDB. Ini adalah tahun terakhir di mana pemerintah diizinkan untuk mengajukan defisit anggaran di atas 3% dari PDB. 

Dalam RAPBN 2022, pemerintah mengajukan belanja negara Rp 2.708,68 triliun, sementara pendapatan negara Rp 1.840,7 triliun. Belanja ini lebih kecil dibandingkan dengan yang ditetapkan untuk 2021 sebesar Rp 2.750 triliun. Kendati demikian, pemerintah memastikan anggaran perlindungan sosial dan kesehatan masih mendapat porsi besar sebagai respons dari kesinambungan penanganan Covid-19.

Anggaran kesehatan yang diajukan Rp 255,3 triliun, meningkat 50,4% dibandingkan APBN 2021 sebesar Rp 169,7 triliun.  Dana kesehatan tahun depan itu setara 9,4% dari belanja negara.  Sejak 2016, besaran anggaran kesehatan ditetapkan minimal 5% dari APBN. 

Sementara itu, anggaran perlindungan sosial diajukan Rp 427,5 triliun rupiah, terutama lebih sebagai antisipasi ketidakpastian, seperti bantuan langsung tunai desa.

Kontribusi Kementerian dan Lembaga Antisipasi Keadaan Bahaya

Penjelasan Pasal 45 dalam RUU APBN Tahun 2022 menyebutkan bahwa "Rincian APBN Tahun Anggaran 2022 antara lain berisikan penetapan/pengaturan earmarking belanja dalam rangka mendukung penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional".

Sebagai pelaksanaan pasal tersebut, kementerian/lembaga diminta mengalokasikan 5-10% anggaran yang peruntukannya (earmarking) sebagai antisipasi kebutuhan mendadak, seperti penanganan Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers terkait RAPBN 2022 mengatakan, untuk tahun depan, dengan earmarking tersebut diperkirakan ada anggaran sekitar Rp 321 triliun yang bisa dimanfaatkan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Ini kali pertama pemerintah meminta secara khusus kepada K/L untuk mengalokasikan anggaran dengan peruntukan kondisi mendadak.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement