RUU Perpajakan Disiapkan, Pusat Ingin Berwenang Tetapkan Pajak Daerah
Pemerintah pusat menginginkan wewenang untuk menetapkan tarif pajak di daerah. Rencananya, kewenangan tersebut bakal diatur dalam RUU Perpajakan. Hal ini sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Selama ini, penentuan pajak daerah menjadi wewenang pemerintah daerah. Hal ini diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. “(Perubahan) ini tujuannya untuk mengatur kembali (tarif pajak daerah)," kata dia di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/11).
(Baca: Jokowi Minta Industri Padat Karya Segera Diguyur Insentif Pajak)
Ia menjelaskan, rasionalisasi pajak daerah diperlukan untuk mendukung iklim investasi. Namun, ia memastikan pemerintah pusat tidak akan sewenang-wenang dalam menentukan tarif pajak daerah. Maka itu, pemerintah pusat akan berkonsultasi dengan asosiasi pemerintah daerah.
Dengan demikian, pendapatan asli daerah lewat pajak tetap bisa terjaga. "Namun sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat untuk menciptakan lingkungan usaha dan penciptaan kesempatan kerja serta investasi yang baik," kata dia.
(Baca: Video: Omnibus Law, UU Sapu Jagat untuk Tarik Investasi )
Lewat RUU Perpajakan ini juga pemerintah akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 20% pada 2023. Pemerintah pun akan mengenakan pajak lebih rendah 3% bagi perusahaan terbuka menjadi 17%.
Lebih lanjut, RUU ini akan mengubah rezim perpajakan bagi wajib pajak orang pribadi (WPOP) dari worldwide income tax system menjadi teritorial. Dengan demikian, warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA) menjadi wajib pajak di Indonesia bergantung kepada masa tinggal mereka di Indonesia.
Sri Mulyani mengatakan, hanya WNI dan WNA yang tinggal lebih dari 183 hari di Indonesia yang akan dikenakan rezim pajak teritorial. "Begitu dia tinggal di Indonesia lebih dari enam bulan, dia otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. Namun pajak yang dibayar oleh WNA yang ada di dalam negeri hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja," kata dia.
(Baca: Investasi Rp 519 T, Sri Mulyani Beri Libur Pajak ke 44 Perusahaan)
Kemudian, RUU ini akan memberikan relaksasi terhadap hak untuk mengkreditkan pajak masukan maksimal 80%. Hal itu bakal diberikan khususnya kepada Perusahaan Kena Pajak (PKP) yang selama ini memperoleh barang dan jasa bukan dari PKP.
"Selama ini mereka tidak bisa melakukan pengkreditan. Di dalam RUU ini kita usulkan agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut maksimal 80%," ujarnya.
RUU ini juga memuat poin yang isinya bakal mengukuhkan perusahaan digital internasional, seperti Amazon dan Google sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, mereka nantinya bisa menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% ke Indonesia.
(Baca: Google Harap Pemerintah Buat Aturan Cerdas soal Pajak Digital)
Lebih lanjut, RUU ini akan mengubah definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT nantinya tak lagi didasarkan pada kehadiran fisik, namun kehadiran signifikannya secara ekonomi atau significant economic presence (SEP).
Menurut Sri Mulyani, perubahan definisi BUT ini dilakukan agar bisa memajaki perusahaan digital internasional yang tak memiliki BUT di Indonesia. "Jadi walaupun mereka tidak secara fisik ada di sini, kegiatannya menghasilkan nilai ekonomi, itu yang diatur sebagai basis perpajakannya," kata dia.
RUU ini pun akan menempatkan seluruh fasilitas insentif perpajakan dalam satu bagian. Hal ini dilakukan agar seluruh fasilitas insentif perpajakan memiliki landasan hukum dalam satu peraturan. Dengan demikian, fasilitas insentif perpajakan akan jauh lebih konsisten.