Tertangkapnya Romahurmuziy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat dua pekan lalu membuat seisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dipimpinnya pontang-panting. Sebulan menjelang pemilihan umum, operasi KPK ini menjadi pukulan telak. Serangkaian pertemuan digelar, konsolidasi dilakukan, dan elektabilitas partai menjadi perhatian utama.
Rapat pertama diadakan sehari kemudian, setelah Romy -demikian ia biasa disapa- menjadi tersangka komisi antirasuah karena diduga terlibat suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PPP, Arsul Sani, menyatakan status baru Romy tidak akan mengganggu mesin partai dalam menghadapi pemilu 2019.
Menurut Arsul, dengan bimbingan para ulama di bawah pimpinan Ketua Majlis Syariah DPP PPP Maimoen Zubair, PPP memastikan berkhidmat kepada umat dan bangsa. Seluruh struktur partai dan kader diminta berkonsolidasi, menginstruksikan menggelar istighosah secara rutin, memohon perlindungan, dan ke-istiqomah-an dalam berjuang.
(Baca: Romahurmuziy Sebut Terima Rekomendasi Khofifah untuk Jabatan Kemenag)
Namun kegusaran masih terlihat. Rabu, empat hari kemudian, kader muda PPP menggelar kongkow dan konsolidasi di Restaurant Pulau Dua, Senayan. Mereka bertukar pikiran dan menyatakan sikap untuk kebesaran partai.
Di hari yang sama, Musyawarah Kerja Nasional III PPP diselenggarakan di Cisarua, Bogor. Rapat memutuskan Suharso Manoarfa menjadi pelaksana tugas ketua umum partai berlambang Ka’bah tersebut menggantikan Romy. Politisi kawakan itu sesenggukan saat menyampaikan pidato. Dia tak habis pikir bencana yang menerpa organisasinya.
Padahal, menurut mantan Menteri Perumahan Rakyat era Susilo Bambang Yudhoyono itu, seluruh mesin partai sedang bersemangat untuk mengembalikan kebesaran PPP dalam pemilihan legislatif mendatang. “Kami sedang semangat-semangatnya,” kata Suharso. Dari laman youtube itu, air matanya terlihat meleleh.
Kekhawatiran Suharso beralasan. Pesta politik 2019 tinggal empat pekan dan konsentrasi partai terbelah oleh kasus korupsi yang menimpa Romy. Oleh sebab itu, dalam waktu yang sempit, Suharso ingin memastikan PPP dapat bertahan di tengah rimba perpolitikan nasional.
(Baca: Gantikan Rommy, Suharso Monoarfa Didapuk Jadi Plt Ketua Umum PPP)
Tentu kerja Suharso tak enteng. Apalagi sejumlah survei, secara berturut-turut, menempatkan elektabilitas PPP tak aman bahkan gagal melaju ke parlemen usai pemilu legislatif mendatang. Hasil survei Lingkar Survei Indonesia Denny JA, misalnya, menyebutkan tingkat keterpilihan PPP pada akhir 2018 hanya 3,5 %, di bawah ambang batas parlemen 4 %.
Demikian pula dengan hasil survei Konsepindo memperlihatkan elektabilitas PPP hanya 2,2 %, tidak lolos ke parlemen 2019-2024 bersama Perindo, Partai Berkarya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Garuda, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sementara hasil sigi PolMark menunjukkan elektabilitas PPP hanya berada tipis di atas parliamentary treshold, yakni 4,5 %.
Peneliti LSI Denny JA Rully Akbar mengatakan ditangkapnya Rommy berpotensi menambah berat laju partai berbasis Islam tersebut dalam tingkatan pengurus besar. “Caleg akan terguncang dan jadi malas bergerak memenangkan PPP,” kata Rully kepada Katadata.coid.
Meski demikian, bukan saja kasus Romy yang membuat PPP tertatih-tatih. Partai ini sudah menghadapi sejumlah masalah sejak lama, mulai dari pecahnya kubu Romy dan Djan Faridz, kokohnya partai Islam lain seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), PKS, dan PAN, hingga ketokohan Romy yang tidak sekental Prabowo Subianto di Gerindra dan Susilo Bambang Yudhoyono di Demokrat.
Kekuatan finansial yang kurang mumpuni juga menjadi hambatan PPP. Selain itu, pemilih loyal partai ini sejak Orde Baru semakin menipis. Rully menyebut PPP tidak memiliki visi yang jelas sehingga basis suaranya banyak beralih ke partai Islam lainnya. “Kami belum mendengar kekhususan PPP,” ujarnya.
Ketua Majelis Syariah PPP Maimoen Zubair mengatakan ditunjuknya Suharso untuk menjadi pucuk pimpinan sementara tak lepas dengan kedekatannya dengan pemerintah. Sebelumnya, Suharso merupakan penasihat presiden yang tergabung dalam anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
(Baca: PPP Gelar Rapat Putuskan Nasib Romahurmuziy)
Menurut Rully, terlepas satu atau dua kontroversi selama menjabat di kabinet, Suharso dapat dikatakan berpengalaman. Suharso bisa mengambil langkah rebranding laiknya Airlangga Hartarto saat memimpin Partai Golkar pasca-Setya Novanto terseret korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). “Beruntungnya Golkar, saat itu masih jauh dari pemilu,” kata Rully.
Analis komunikasi politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio pun beranggapan pemilihan Suharso sebagai langkah yang tepat lantaran dekat kekuasaan. Apalagi PPP memerlukan penanganan yang berhati-hati.
Suharso, menurut dia, harus segera mencitrakan PPP sebagai partai yang bersih dalam waktu singkat. Publikasi soal pembenahan massal diperlukan seperti menendang kader yang korup. Karena itu, Suharso menyatakan akan menghabiskan waktunya di daerah dengan para kader di bawah.
Dia ingin mengetahui apakah para kader telah bekerja keras demi memacu suara PPP guna menjaga partai ini tetap ada. Bahkan Suharso juga telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Meski demikian, tak ada fungsionaris PPP yang menjelaskan strategi detailnya. “Saya masih mendampingi kampanye Pak Jokowi,” kata Arsul kepada Katadata.co.id. Sedangkan Wakil Ketua Umum PPP Arwani Thomafi menyerahkan penjelasannya kepada Suharso. “Kalau Ketum memberitahu, saya bantu jelaskan.” Suharso belum merespons pertanyaan yang diajukan via pesan pendek.
Dampak Kasus Romy terhadap Elektabilitas Jokowi Minim
Keberadaan PPP yang juga bagian dari mesin politik pasangan calon presiden nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin tentu mengundang tanya. Akankah kasus Rommy berdampak ke elektabilitas Jokowi?
Kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menjadikan hal ini sebagai amunisi serangan. Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Sudirman Said mengatakan kasus Romy menunjukkan lingkungan pengendalian di sekitar presiden mengalami masalah.
Namun, Hendri dan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Samsuddin Haris menyatakan dampak terjeratnya Rommy minimal bagi elektabilitas Jokowi. “Karena segmen pemilih PPP juga kecil,” kata Samsuddin kepada Katadata.co.id.
(Baca: Jokowi Yakin Kasus Romahurmuziy Tak Pengaruhi Elektabilitasnya)
Meski demikian, Hendri mengatakan Jokowi kehilangan satu amunisi apabila harus bertukar serangan dengan kubu Prabowo. Senjata yang hilang itu adalah tudingan koruptor di sekitar parpol pengusung tak akan bisa lagi dilontarkan mantan Walikota Solo tersebut. Dalam debat pertama kepresidenan, Jokowi sempat menyinggung banyaknya caleg eks koruptor di kubu mantan Danjen Kopassus itu.
Di sisi lain, tertangkapnya anggota Komisi XI DPR tersebut diglorifikasi para pemilih setia. Para pendukung setia Jokowi itu akan mengatakan pemerintah tak tebang pilih dalam memberantas korupsi. Sedangkan kubu lawan akan menjawab dengan cara kritikan. “Dua pihak sudah punya standing point masing-masing,” kata Rully.
Jokowi sendiri mengaku yakin kasus Rommy tak akan menyeret jatuh elektabilitasnya. Menurut dia, tim sukses dan partai-partai pendukungnya tetap solid bekerja meski ada kasus tersebut. “Saya kira konsolidasi kami dengan partai-partai tidak ada masalah, juga tidak mempengaruhi elektabilitas,” kata Jokowi.