Benteng Industri Jasa Keuangan Menghadapi Stagflasi

Prof Abdul Mongid
Oleh Prof Abdul Mongid
3 September 2022, 07:05
Prof Abdul Mongid
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Guru Besar STIE Perbanas Surabaya

Perkembangan ekonomi saat ini -seperti inflasi tinggi, suku bunga naik, serta gangguan pasokan energi dan pangan- merupakan sinyal bahwa ekonomi dunia sedang menuju krisis baru. Sinyalemen bahwa ekonomi dunia akan terjebak pada kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah (stagnasi) namun harga-harga barang naik terus (inflasi) yang dikenal dengan stagflasi bukan prakiraan lagi, namun sudah di depan mata.

Ekonomi yang terjebak stagflasi sangat buruk. Industri jasa keuangan (IJK), khususnya perbankan, wajib melakukan langkah antisipatif atas memburuknya keadaan ekonomi sebagai konsekuensi dari perkembangan makro ekonomi dunia.

Kebijakan bank sentral di seluruh dunia yang menaikkan suku bunga dengan tujuan mengatasi inflasi telah membawa konsekuensi buruk pada kegiatan ekonomi. Kebijakan ini dapat membawa pada merosotnya kegiatan ekonomi yang berakibat pada kualitas kredit perbankan. Apalagi pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 belum sepenuhnya terjadi.

Semua harus mempersiapkan diri untuk “keadaan darurat” dengan berbagai macam persiapan. Dunia usaha, industri jasa keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan pemerintah harus bersatu dan mencegah adanya kebijakan yang tumpang tindih dan kontradiksi.

Untuk menghadapi kondisi buruk ke depan, semua pihak harus mengedepankan komunikasi, koordinasi dan sinergi.  Tidak boleh ada yang bertindak hanya untuk kepentingan sendiri karena hasilnya hanya “kehancuran bersama”.

Mengantisipasi stagflasi ke depan, pengelolaan industri keuangan harus memegang tiga prinsip yang dikenal sebagai three lines of  defense. Konsep ini diterjemahkan sebagai tiga benteng untuk melindungi industri jasa keuangan agar tahan dari ancaman stagflasi.

Tiga Benteng Industri Jasa Keuangan

Benteng pertama yaitu manajemen lembaga keuangan yang mengelola bisnis dengan baik. Dalam kondisi ekonomi penuh ketidakpastian, manajemen perlu berhati-hati (prudential) dalam mengelola usahanya. Strategi manajemen industri jasa keuangan untuk memaksimalkan hasil adalah dengan melakukan inovasi bukan ekspansi besar-besaran.

Dalam situasi yang penuh disrupsi, inovasi merupakan kata kunci untuk berkembang dan bertahan (survival). Inovasi memberi pilihan bagi konsumen dan juga fleksibilitas yang lebih besar bagi pelaku ekonomi. Dalam banyak hal, inovasi adalah keharusan karena tuntutan persaingan.

Namun perlu menjadi catatan bahwa inovasi harus menghasilkan keunggulan baik dari sisi biaya, pendapatan maupun posisi di pasar. Sebaiknya, manajemen jangan mencoba melakukan inovasi untuk mengakali peraturan (circumventing regulation). Contoh produk inovatif yang membuat kehancuran industri jasa keuangan di Amerika di antaranya subprime mortgage. Yang terbaru adalah investasi di uang kripto (crypto currency).

Saat ini, lembaga keuangan, khususnya perbankan, dipandang sebagai satu-satunya bisnis di Indonesia yang wajib memiliki sistem dan organisasi manajemen risiko. Manajemen risiko secara sederhana adalah penerapan serangkaian metodologi dan prosedur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.

Tujuannya untuk meningkatkan pengelolaan risiko pada level internal perusahaan. Untuk mencapai tujuan ini, bank dituntut mengembangkan manajemen risiko yang proaktif. Sebagai metode, manajemen risiko bukanlah “dogma” namun aktivitas yang memerlukan evaluasi dan pelaksanaan kaji ulang untuk penyempurnaan.

Manajemen dituntut menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance, GCG). Ini berarti prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan keadilan menjadi inti dan semangat dalam mengelola perusahaan. Direksi dan komisaris menjalankan fungsi masing-masing secara optimal dan independen.

Dalam pengelolaan perusahaan, lima prinsip GCG harus menjadi nilai dasar perusahaan. Ini akan menjadi pondasi kokoh untuk keberlanjutan perusahaan dalam jangka panjang (going concern).

Aspek manusia dalam manajemen risiko dan tata kelola harus menjadi prioritas, khususnya terkait dengan risiko operasional. Seperti diketahui, risiko operasional bisa berasal dari kegagalan sistem, proses internal, manusia dan eksternal.

Dari semua aspek tersebut, manusia adalah kunci utamanya. Karena itu perusahaan perlu mengembangkan budaya sadar risiko pada semua level. Budaya sadar risiko akan menjadi pondasi penting untuk menghindarkan dari praktik tidak sehat, kecerobohan, dan kecurangan.

Halaman:
Prof Abdul Mongid
Prof Abdul Mongid
Guru Besar STIE Perbanas Surabaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...