Ciri-ciri Uang Palsu, Sejarah, Dampak, dan Hukuman Pemalsu Uang
Uang adalah segala sesuatu yang diterima secara umum sebagai alat pembayaran resmi dalam memenuhi suatu kewajiban. Peran uang yang penting di dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan keinginan manusia untuk memiliki uang sebanyak-banyaknya. Tidak sedikit cara-cara untuk memperoleh uang dengan cara melawan hukum, seperti uang palsu.
Uang palsu selalu muncul di banyak belahan dunia sehingga masyarakat harus selalu berhati-hati dan waspada. Apa itu uang palsu dan bagaimana ciri-ciri uang palsu? Bagaimana sejarah uang palsu? Bagaimana dampak peredaran uang palsu?
Pengertian Uang Palsu
Dilansir laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) uang palsu adalah uang tiruan, dibuat oleh pihak yang tidak berwenang untuk diedarkan atau telah beredar, seakan-akan sebagai alat pembayaran yang sah (counterfeit money). Memproduksi atau menggunakan uang palsu, termasuk rupiah, adalah bentuk penipuan atau pemalsuan.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, rupiah palsu didefinisikan sebagai suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
Pemalsuan rupiah merupakan tindakan yang melanggar hukum, merugikan masyarakat, dan dapat menurunkan kepercayaan terhadap rupiah. Oleh karena itu, mengenali keaslian uang rupiah adalah salah satu upaya pencegahan pengedaran rupiah palsu dan sebagai bentuk nyata masyarakat dalam menjaga simbol kedaulatan negara.
Sejarah Uang Palsu
Mata uang palsu telah beredar hampir bersamaan dengan munculnya mata uang. Pemalsuan pertama ditengarai terjadi pada 600 tahun sebelum masehi. Korbannya adalah koin lydian dari Kerajaan Lydia kuno yang terletak di Turki. Koin emas kuno ini dipalsukan dengan mencampurkan logam dasar sehingga kandungan emasnya tidak lagi semurni koin asli.
Ketika uang kertas diperkenalkan di Cina pada abad ke-13, pemalsu uang pun muncul. Semua negara menerapkan hukuman berat terhadap pemalsu uang. Tetapi, pemalsu uang tetap berkeliaran sampai sekarang.
Peredaran uang palsu di Indonesia pernah marak pada 1945-1950. Dilansir dari Historia, peredaran uang palsu lebih bertujuan politis ketimbang ekonomi. Pada masa itu, Indonesia baru menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946. Sementara uang Jepang dan Belanda masih beredar di masyarakat. Masing-masing berupaya melemahkan mata uang, termasuk pemalsuan.
Temuan uang palsu terus beralngasung. Terkini, polisi menyita 495.184 lembar uang palsu pecahan Rp 100.000 dalam kurun waktu Januari hingga April 2022.
Pemalsuan uang, seperti kejahatan lainnya, akan terus muncul meskipun ancaman hukumannya tak ringan. Hukuman terberat adalah seumur hidup. Menurut Pasal 245 KUHP, orang yang memalsukan rupiah dan menggunakannya/mengedarkannya diancam dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Dampak Peredaran Uang Palsu
Uang palsu bukan hanya merugikan secara individual, tetapi bisa juga mempengaruhi skala yang lebih besar. Dalam jumlah yang banyak, uang palsu dapat menimbulkan inflasi. Mata uang palsu juga dapat melemahkan kepercayaan terhadap sistem pembayaran sehingga masyarakat umum tidak merasa yakin saat menerima uang tunai dalam transaksi.
Di Indonesia, rupiah merupakan alat pembayaran yang sah, salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga negara. Pemalsuan rupiah merupakan tindakan yang melanggar hukum, merugikan masyarakat, dan menurunkan kepercayaan terhadap rupiah. Oleh karena itu, mengenali keaslian uang rupiah menjadi upaya untuk mencegah pengedaran rupiah palsu dan bentuk menjaga simbol kedaulatan negara.
Ciri-ciri Uang Palsu
Pemberantasan rupiah palsu dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal). Badan ini terdiri dari Badan Intelijen Negara, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia.
Bank Indonesia menjadi lembaga yang berhak menentukan keaslian rupiah. Masyarakat dapat meminta klarifikasi dari Bank Indonesia tentang rupiah yang diragukan keasliannya.
Mengenali uang asli merupakan cara terbaik untuk mengetahui ciri-ciri yang palsu. Bank Indonesia telah mensosialisasikan tiga teknik yang dapat digunakan masyarakat untuk menghindari persebaran uang palsu. Teknik untuk menghindari uang palsu adalah dengan cara dilihat, diraba, dan diterawang. Teknik itu berguna untuk melihat bahan baku uang, desain, dan teknik cetak.
1. Dilihat
Uang kertas rupiah terbuat dari kertas khusus berbahan serat kapas dan memiliki benang pengaman. Perubahan warna benang pengaman pada pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000, perisai logo BI pada pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, dan Rp 20.000. Menemukan angka berubah warna yang tersembunyi pada pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp10.000, dan gambar tersembunyi berupa tulisan BI dan angka.
2. Diraba
Pengecekan keaslian uang dapat dilakukan dengan cara meraba uang dan memperhatikannya secara seksama. Ada bagian uang yang kasar, yaitu pada gambar utama, gambar lambang negara, angka nominal, huruf terbilang, frasa Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tulisan Bank Indonesia.
Penyandang tuna netra bisa meraba kode tuna netra (blind code) di sisi kiri dan kanan untuk mengenali nilai nominal dan asli atau tidaknya uang kertas.
3. Diterawang
Masyarakat dapat melakukan pengecekan dengan menerawang uang kertas. Angkat uang kertas lalu arahkan kepada cahaya. Jika uang tersebut asli, Anda akan dapat menemukan gambar pahlawan, gambar ornamen pada pecahan tertentu, dan logo BI yang akan terlihat utuh.
Ketika menerima uang palsu, masyarakat diimbau untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Tidak membelanjakan uang palsu yang diterima.
- Menyampaikan uang palsu yang diterima kepada kantor bank terdekat untuk dimintakan klarifikasi kepada Bank Indonesia atau mengajukan permohonan klarifikasi ke kantor Bank Indonesia terdekat.
- Melaporkan dugaan tindak pidana pemalsuan uang kepada kantor polisi terdekat.