Peran Korporasi dalam Mendorong Transisi Energi

Jimmy Wijaya
Oleh Jimmy Wijaya
28 April 2022, 12:27
Jimmy Wijaya
Katadata

Terkereknya harga minyak dunia berdampak pada melonjaknya harga beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) domestik. Jika dipikir secara bijak, sudah saatnya momentum tersebut menjadi batu loncatan percepatan transisi energi, terlebih siklus kenaikan harga minyak dunia terus terjadi. Tentu hal tersebut ikut mempengaruhi sektor perekenomian bangsa ini.

Bagi Indonesia, ketergantungan akan energi fosil sejak lama telah mewariskan perilaku yang sulit “move on”. Ini perlu perhatian khusus. Pasalnya, publik perlu memiliki pemahaman, kesadaran serta literasi terkait cadangan energi berbasis fosil yang kian berkurang dan menipis. Ketersedian cadangan energi inilah yang mendorong Pemerintah terpaksa melakukan impor demi memenuhi sebagian kebutuhan energi dalam negeri. 

Mengapa publik perlu memiliki literasi transisi energi? Rasanya sulit jika persoalan energi hanya menjadi beban pemangku kebijakan. Dukungan masyarakat beserta regulator merupakan sebuah kolaborasi yang mutlak dalam mewujudkan energi masa depan yang jauh lebih baik juga proteksi terhadap ancaman pengrusakan lingkungan. 

Implementasinya, masyarakat bisa mendorong transisi energi salah satunya dengan upaya penghematan penggunaan energi atau memilih bahan bakar oktan tinggi yang menghasilkan gas buang yang rendah karbon. Dengan begitu, baik masyarakat dan pemerintah telah masuk tahap awal roadmap transisi energi yang ditargetkan 2030 nanti.

Transisi energi yang memiliki cakupan sangat luas, saat ini menjadi sebuah isu sentral dan dianggap sangat penting serta menjadi kajian global. Melalui Presidensi Government Group 20 (G20) Indonesia 2022, negara-negara maju memberikan kontribusi dukungan terhadap negara berkembang dalam memprioritaskan transisi energi.

Poin penting dari Presidensi G20 salah satunya adalah output dalam rangka memperkuat pasokan energi domestik. Yang menarik sebagai upaya menekan energi fosil, negara maju tak hanya memberikan akses pendanaan. Termasuk dukungan teknologi yang saat ini menjadi tools yang tidak mungkin dikesampingkan dalam mewujudkan net zero emission (NZE) sekaligus pencegahan bumi dari ancaman akibat perubahan iklim.

INVESTASI UNTUK TUTUP PLTU
INVESTASI UNTUK TUTUP PLTU (ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/pras.)
 

Peran Korporasi

Dalam mewujudkan akselarasi transisi energi bukan persoalan mudah dan butuh dukungan materi yang luar biasa besar serta memakan waktu yang cukup lama. Namun, bukan berarti tidak mungkin terealisasi sesuai yang ditargetkan. Sebagai catatan penting, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi energi terbarukan (EBT) yang cukup besar. 

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan Indonesia memiliki bauran EBT sebesar 11,5%. Targetnya pada 2025, bauran EBT dapat ditingkatkan menjadi 23%. Potensi EBT di Indonesia juga sangat besar mencapai 3.686 Gigawatt (GW), mulai dari surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut. 

Sumber daya ini tentu menjadi modal utama bagi bangsa ini, guna mewujudkan energi yang jauh lebih ramah lingkungan. Apalagi jika dibandingkan dengan energi fosil yang cenderung memantik peningkatan suhu bumi.

Sementara itu, cadangan minyak bumi yang dihasilkan dari fosil saat ini tinggal 3,77 milliar barel. Dengan asumsi jika sumber cadangan baru belum ditemukan. Dengan cadangan yang ada, stok energi fosil domestik hanya bertahan hingga sembilan tahun ke depan. 

Pengelolaan cadangan EBT yang memiliki potensi menghasilkan energi hijau, diperlukan pengembangan industri sebagai akses yang ditunjang dengan teknologi-teknologi mutakhir. Pada tahapan inilah dukungan pendanaan itu sangat dibutuhkan demi membangun infrastruktur berbasis teknologi.

Dilansir dari Katadata sekaligus meneruskan catatan Transisi Energi, terdapat tiga teknologi yang dapat mendukung kelancaran program transisi energi. Salah satunya adalah teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi CCS merupakan proses di mana karbon dioksida dari pembakaran pembangkit listrik dan sumber industri lainnya yang seharusnya dilepaskan ke atmosfer ditangkap, dikompresi dan disuntikkan ke dalam formasi geologi bawah tanah untuk penyimpanan yang aman, terjamin dan permanen. 

Sekadar diketahui, rata-rata dari aktivitas penduduk bumi saat ini secara kolektif memproduksi sekitar 50 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer. Dan itu terjadi setiap tahunnya. Maka tak heran jika dari masa ke masa suhu bumi terus mengalami peningkatan.

Teknologi CCS ini memang masih diperdebatkan. Namun dari purwarupa teknologi ini berproyeksi pada karbon dioksia dapat merusak lingkungan karena sifatnya yang memantulkan radiasi panas matahari sehingga menyebabkan peningkatan suhu di permukaan bumi atau yang disebut pamanasan global.

Halaman:
Jimmy Wijaya
Jimmy Wijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...