Peran Korporasi dalam Mendorong Transisi Energi
Terkereknya harga minyak dunia berdampak pada melonjaknya harga beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) domestik. Jika dipikir secara bijak, sudah saatnya momentum tersebut menjadi batu loncatan percepatan transisi energi, terlebih siklus kenaikan harga minyak dunia terus terjadi. Tentu hal tersebut ikut mempengaruhi sektor perekenomian bangsa ini.
Bagi Indonesia, ketergantungan akan energi fosil sejak lama telah mewariskan perilaku yang sulit “move on”. Ini perlu perhatian khusus. Pasalnya, publik perlu memiliki pemahaman, kesadaran serta literasi terkait cadangan energi berbasis fosil yang kian berkurang dan menipis. Ketersedian cadangan energi inilah yang mendorong Pemerintah terpaksa melakukan impor demi memenuhi sebagian kebutuhan energi dalam negeri.
Mengapa publik perlu memiliki literasi transisi energi? Rasanya sulit jika persoalan energi hanya menjadi beban pemangku kebijakan. Dukungan masyarakat beserta regulator merupakan sebuah kolaborasi yang mutlak dalam mewujudkan energi masa depan yang jauh lebih baik juga proteksi terhadap ancaman pengrusakan lingkungan.
Implementasinya, masyarakat bisa mendorong transisi energi salah satunya dengan upaya penghematan penggunaan energi atau memilih bahan bakar oktan tinggi yang menghasilkan gas buang yang rendah karbon. Dengan begitu, baik masyarakat dan pemerintah telah masuk tahap awal roadmap transisi energi yang ditargetkan 2030 nanti.
Transisi energi yang memiliki cakupan sangat luas, saat ini menjadi sebuah isu sentral dan dianggap sangat penting serta menjadi kajian global. Melalui Presidensi Government Group 20 (G20) Indonesia 2022, negara-negara maju memberikan kontribusi dukungan terhadap negara berkembang dalam memprioritaskan transisi energi.
Poin penting dari Presidensi G20 salah satunya adalah output dalam rangka memperkuat pasokan energi domestik. Yang menarik sebagai upaya menekan energi fosil, negara maju tak hanya memberikan akses pendanaan. Termasuk dukungan teknologi yang saat ini menjadi tools yang tidak mungkin dikesampingkan dalam mewujudkan net zero emission (NZE) sekaligus pencegahan bumi dari ancaman akibat perubahan iklim.
Peran Korporasi
Dalam mewujudkan akselarasi transisi energi bukan persoalan mudah dan butuh dukungan materi yang luar biasa besar serta memakan waktu yang cukup lama. Namun, bukan berarti tidak mungkin terealisasi sesuai yang ditargetkan. Sebagai catatan penting, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi energi terbarukan (EBT) yang cukup besar.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan Indonesia memiliki bauran EBT sebesar 11,5%. Targetnya pada 2025, bauran EBT dapat ditingkatkan menjadi 23%. Potensi EBT di Indonesia juga sangat besar mencapai 3.686 Gigawatt (GW), mulai dari surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut.
Sumber daya ini tentu menjadi modal utama bagi bangsa ini, guna mewujudkan energi yang jauh lebih ramah lingkungan. Apalagi jika dibandingkan dengan energi fosil yang cenderung memantik peningkatan suhu bumi.
Sementara itu, cadangan minyak bumi yang dihasilkan dari fosil saat ini tinggal 3,77 milliar barel. Dengan asumsi jika sumber cadangan baru belum ditemukan. Dengan cadangan yang ada, stok energi fosil domestik hanya bertahan hingga sembilan tahun ke depan.
Pengelolaan cadangan EBT yang memiliki potensi menghasilkan energi hijau, diperlukan pengembangan industri sebagai akses yang ditunjang dengan teknologi-teknologi mutakhir. Pada tahapan inilah dukungan pendanaan itu sangat dibutuhkan demi membangun infrastruktur berbasis teknologi.
Dilansir dari Katadata sekaligus meneruskan catatan Transisi Energi, terdapat tiga teknologi yang dapat mendukung kelancaran program transisi energi. Salah satunya adalah teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Teknologi CCS merupakan proses di mana karbon dioksida dari pembakaran pembangkit listrik dan sumber industri lainnya yang seharusnya dilepaskan ke atmosfer ditangkap, dikompresi dan disuntikkan ke dalam formasi geologi bawah tanah untuk penyimpanan yang aman, terjamin dan permanen.
Sekadar diketahui, rata-rata dari aktivitas penduduk bumi saat ini secara kolektif memproduksi sekitar 50 miliar ton karbon dioksida ke atmosfer. Dan itu terjadi setiap tahunnya. Maka tak heran jika dari masa ke masa suhu bumi terus mengalami peningkatan.
Teknologi CCS ini memang masih diperdebatkan. Namun dari purwarupa teknologi ini berproyeksi pada karbon dioksia dapat merusak lingkungan karena sifatnya yang memantulkan radiasi panas matahari sehingga menyebabkan peningkatan suhu di permukaan bumi atau yang disebut pamanasan global.
Selanjutnya, teknologi Solar Photovoltaics (PV). Solar Photovoltaics menjadi menarik karena bersumber dari energi yang sentral dari panas matahari. Setiap wilayah bisa memanfaatkan energi matahari ini di mana teknologi PV dapat mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik.
Sebagai negara tropis, Indonesia kembali unggul dalam pemanfaatan Solar Photovoltaics. Itu karena, Indonesia mendapat karunia limpahan sinar matahari sepanjang tahun, di mana radiasi tata energi surya yang dihasilkan mencapai 4,8 Kwh/m2.
Dengan begitu, selain surplus energi, produksi dihasilkan jauh lebih ramah lingkungan dan murah. Energi yang dihasilkan oleh tenaga surya ini tentu bisa dimanfaatkan oleh rumah tangga, industri dan sektor otomotif transportasi.
Juga ada teknologi bernama Bioenergi yang mengolah energi yang bersumber dari biologis atau yang dihasilkan dari organisme hidup. Secara umum, bioenergi menghasilkan tiga jenis sumber energi, yaitu: biofuel (biodiesel dan bioetanol), biogas, dan biomassa padat (wood pellet/serpihan kayu, biobriket dan residu pertanian). Bioenergi dapat digunakan untuk membangkitkan listrik, sebagai bahan bakar transportasi dan menciptakan panas.
Terkait dengan bioethanol, dikutip dari Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), bentuk bioetanol yang menjadi bahan bakar pengganti bensin. Bioetanol bersumber dari karbohidrat yang potensial sebagai bahan baku, seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan tebu.
Dari beberapa bahan baku tersebut, diketahui bahwa tanaman jagung merupakan bahan baku unggulan untuk menjadi bahan utama bioetanol. Selain dari segi ekonomis tergolong murah, jumlah hasil bioetanol yang dihasilkan jagung ternyata lebih besar di antara tanaman lain.
Jika merujuk pada ketiga teknologi yang mendukung kelancaran transisi energi baik CCS, PV dan Bioenergi, energi yang dihasilkan jelas tidak merusak lingkungan yang biasanya di hasilkan dari energi fosil. Sumber yang mudah diperoleh tanpa harus ekstra eksplorasi dan yang paling penting adalah nilai ekonomis sehingga bisa menekan anggaran produksi, belanja dan operasional.
Kontribusi Pertamina
Sebagai perusahaan energi, Pertamina sudah pasti mendukung penuh Presidensi Government Group 20 (G20) Indonesia 2022 dalam memprioritaskan transisi energi berkelanjutan. Alasan dukungan bukan hanya sebatas karena Pertamina dimiliki oleh negara. Lebih dari itu, transisi energi menjadi jalan mulus perusahaan lepas dari tekanan harga minyak dunia.
Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Pertamina menuju transisi energi berjalan smooth. Bukan tanpa alasan. Transisi berjalan perlahan demi menghindari gejolak-gejolak yang sifatnya merupakan keniscayaan pada setiap terjadinya transisi di sektor apapun.
Dalam mengimplementasikan agenda strategis, Pertamina menargetkan portofolio energi hijau hingga 17% pada 2030 mendatang. Tidak main-main, rencana pengembangan proyek energi baru dan terbarukan hingga tahun 2026 diproyeksikan meningkatkan total kapasitas pembangkit sekitar 10,2 GigaWatt (GW) dan manufacture sekitar 30,2 GWh untuk meningkatkan bauran energi Indonesia 23% pada tahun 2025.
Proyek strategis tersebut atas proyek gasifikasi pembangkit listrik sebesar 5,7 GW yang terdiri dari panas bumi sebesar 1,1 GW, energi surya, bioenergi, air, angin sebesar 3,4 GW, baterai kendaraan listrik sebesar 30,2 GWh. Untuk proyek tersebut, perusahaan pelat merah ini menyiapkan nilai investasi sekitar US$ 6,96 miliar.
Di sisi lain, Green Energy Station (GES) milik Pertamina menjadi solusi dari permasalahan klasik yaitu pencemaran lingkungan, di mana 60% di antaranya disumbangkan dari sektor kendaraan bermotor. GES merupakan stasiun energi untuk kendaraan listrik (charging station) yang mulai diproduksi sejumlah produsen otomotif dunia. Hadir dengan pemanfaatan sumber energi mandiri dan ramah lingkungan dengan mengandalkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sebagai priority improvement.
Sesuai dengan slogan G20, "Recover Together, Recover Stronger". Pertamina tentu memilih untuk melakukan aksi nyata menanggapi isu perubahan iklim demi penyelematan bumi di masa mendatang.(*)
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.