Button AI Summarize
  • Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar kembali menjadi tersangka korupsi pengadaan pesawat setelah sebelumnya divonis 8 tahun penjara dalam kasus suap.
  • BPKP memperkirakan kerugian negara mencapai Rp 8,8 triliun dalam kasus ini.
  • Garuda Indonesia siap menatap masa depan setelah sukses menyelesaikan proposal PKPU kepada 501 kreditur.

Pengusutan dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia Tbk memasuki babak baru. Kejaksaan Agung sebelumnya sudah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Setijo Awibowo, VP Strategic Management Office periode 2011-2012, Executive Project Manager Aircraft Delivery (2009-2014) Agus Wahjudo, dan VP Treasury Management (2005-2012) Albert Burhan. 

Pada Senin (27/6), daftar tersangka itu bertambah dua orang. Keduanya adalah mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan mantan Direktur PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo. 

Advertisement

Sejak awal tahun ini, Kejaksaan Agung memang sudah memeriksa sejumlah sosok penting di manajemen Garuda Indonesia. Mulai dari eks Dirut Citilink M. Arif Wibowo hingga Dirut Garuda saat ini Irfan Setiaputra. Kejaksaan juga telah memanggil eks Komisaris perusahaan seperti Wendy Aritonang Yazid, Bagus Rumbogo, Chris Kanter, Peter F. Gontha, hinga pejabat saat ini Chairul Tanjung. 

Kemunculan nama Emirsyah Satar bukan hal mengejutkan. Pada 2017, KPK telah menetapkan eks Dirut Garuda Indonesia ini sebagai tersangka kasus suap puluhan miliar dari Bombardier, Airbus SAS, dan Rolls Royce. Soetikno juga menjadi tersangka dalam kasus ini. 

Dalam persidangan, Emir diketahui menerima suap dari Soetikno yang merupakan penasihat bisnis Airbus dan Rolls Royce. Soetikno memberikan uang senilai Rp 5,859 miliar, US$ 884.000 dollar Amerika, 1,02 juta Euro dan 1,1 juta dollar Singapura agar Emir mau membeli mesin Trent 700 produksi Rolls Royce. Suap juga diberikan untuk memuluskan pengadaan pesawat jenis Airbus A330-300/200, pesawat Airbus A320 untuk Citilink, serta pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600. 

Pengadilan kemudian memberikan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara kepada Emir. Sedangkan Soetikno divonis 6 tahun penjara. 

Jaksa Agung Burhanudin ST mengatakan kedua tersangka baru ini menghadapi perkara yang berbeda dengan yang sudah disidik KPK. Keduanya bertanggungjawab dalam soal pengadaan pesawat selama menjabat sebagai petinggi Garuda. 

“Tidak dilakukan penahanan karena masing-masing sudah menjalani pidana atas kasus PT Garuda yang ditangani oleh KPK," kata Burhanuddin, Senin (26/7). 

Merunut kronologi kasus korupsi di BUMN tersebut, kasus yang ditangani Kejagung saat ini memang merupakan pengembangan dari kasus suap yang sebelumnya digarap KPK. Kejaksaan Agung mulai serius mengembangkan kasus ini sejak akhir tahun 2021 silam. Surat perintah penyelidikan resmi dikeluarkan Kejagung pada 15 November 2021. 

“Kejagung melakukan penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan PT Garuda Indonesia berupa 'mark up' (penggelembungan) penyewaan pesawat Garuda Indonesia,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Januari silam. 

Pihak Kejagung menggunakan dokumen Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) Tahun 2009-2014 sebagai patokan awal penyelidikan. Dokumen tersebut menyebut rencana pengadaan 64 armada pesawat dengan skema pembelian dan sewa.

Dalam praktiknya, Garuda akhirnya membeli lima pesawat jenis ATR 72-600 dan menyewa 45 unit lainnya. Garuda juga membeli enam unit pesawat CRJ 1.000 dan menyewa 12 unit dari tipe serupa. 

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan pengadaan puluhan pesawat tersebut tidak sesuai dengan prosedur pengelolaan armada, prinsip-prinsip pengadaan BUMN, dan prinsip business judgment rule.

Salah satu tersangka, Setijo Awibowo misalnya, diduga tidak melakukan tahapan perencanaan berdasarkan laporan analisa pasar, laporan rencana rute, laporan analisa kebutuhan pesawat, dan rekomendasi serta persetujuan jajaran direksi. Setijo juga melakukan evaluasi mendahului Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP).

“Itu tidak sesuai dengan konsep bisnis full service airline PT Garuda Indonesia Tbk. Mengakibatkan performa pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara,” kata Ketut, Rabu (22/6).

Hasil penyelidikan Kejaksaan Agung dan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan memperkirakan angka kerugian negara mencapai Rp 8,8 triliun dalam kasus ini. Ketua BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengatakan kasus ini mencakup pengadaan pesawat sejak 2011 hingga 2021.

“Pengadaan nilainya terlalu tinggi. Sehingga saat operasional ongkosnya lebih tinggi dibandingkan dengan nilai operasionalnya,” ujarnya, Senin (27/6).

Jampidsus Febrie Adiansyah mengatakan nilai kerugian negara sebesar Rp 8,8 triliun merupakan angka menyeluruh hasil perluasan penyelidikan. Pihak Kejaksaan tidak hanya menyelidiki kasus pengadaan pesawat jenis CJR 1000 tetapi juga jenis ATR 72-600.

“Soal TPPU [Tindak Pidana Pencucian Uang] dalam proses berjalan. Nanti akan kita lihat, saat ini masih fokus soal kerugian negara,” ujarnya, Senin (27/6).

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement