Menghadapi Krisis Global, Kondisi Indonesia Beda Dengan Sri Lanka

Selamet Riyadi
Oleh Selamet Riyadi
24 Juli 2022, 21:04
Selamet Riyadi
Katadata

Perekonomian global dihadapkan kepada ancaman krisis terbesar pasca Great Depression yang melanda Amerika Serikat pada periode 1929-1939. Banyak negara diperkirakan mengalami kebangkrutan, menyusul Sri Lanka yang terlebih dahulu dinyatakan bangkrut dan mengalami krisis politik dan sosial.

Indikatornya antara lain adalah perekonomian yang tumbuh negatif (resesi), inflasi yang sangat tinggi, tidak memiliki sumber penerimaan devisa yang cukup, nilai tukar merosot tajam, dan pemerintah tidak mampu membayar utang.

Sebagian permasalahan ekonomi tersebut dipicu oleh pandemi Covid-19. Pandemi membatasi pergerakan manusia dan barang yang mengakibatkan negara-negara dengan struktur ekonomi lemah dengan mudah ambruk.

Sri Lanka misalnya, yang terlalu bergantung kepada sektor pariwisata. Hantaman pandemi Covid-19 membuat sektor pariwisata di Sri Lanka lumpuh. Karena Sri Lanka tidak memiliki potensi ekonomi lainnya seperti industri dan sumber daya alam, lumpuhnya pariwisata menyebabkan ambruknya keseluruhan ekonomi.

Apalagi kemudian terjadi kenaikan harga energi dan komoditas pangan di pasar global akibat terganggunya rantai pasok global karena adanya pandemi. Kondisi ini kemudian diperburuk oleh perang di Ukraina dan kebijakan beberapa negara yang melarang ekspor komoditas pangan.

Akibatnya Sri Lanka yang tidak memiliki kecukupan suplai domestik dan sangat bergantung kepada impor mengalami inflasi yang sangat tinggi (hyper inflation). Daya beli masyarakat yang sudah berkurang oleh pandemi benar-benar terpangkas habis. Konsumsi domestik terkoreksi negatif, perekonomian terpuruk. Sri Lanka mengalami stagflasi, resesi yang diikuti inflasi yang sangat tinggi.

Mimpi buruk Sri Lanka tidak hanya sampai disitu. Respons kebijakan moneter the Fed (bank sentral Amerika) yang menaikkan suku bunga acuan secara agresif mengakibatkan penguatan nilai dollar. Ini sekaligus merontokkan nilai tukar mata uang negara lainnya termasuk mata uang Sri Lanka. Sri Lanka yang memiliki rasio utang luar negeri tinggi terpapar dampak pelemahan mata uang domestik.

Pemerintah Sri Lanka tidak bisa memutar utangnya dan kemudian menyatakan dirinya bangkrut, gagal membayar hutang.

Merujuk apa yang terjadi di Sri Lanka, negara-negara yang memiliki struktur ekonomi lemah, diproyeksikan akan mengalami kebangkrutan yang sama.

Ancaman terjadinya stagflasi, resesi ekonomi dan inflasi tinggi, tidak hanya dihadapi negara-negara kecil dengan struktur ekonomi yang lemah. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman ternyata mengalami hal yang sama.

Inflasi di Amerika Serikat sudah lebih dari 8% persen, tertinggi selama 30 tahun terakhir. Sementara kebijakan The Fed yang menaikkan suku bunga secara agresif ternyata belum mampu menahan lonjakan inflasi. Kebijakan itu justru berdampak negatif yang menyebabkan kontraksi ekonomi. Amerika Serikat diperkirakan definitif mengalami resesi pada akhir tahun ini. Artinya Amerika akan mengalami stagflasi.

Ketika negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jerman bersama-sama mengalami stagflasi, sementara negara-negara kecil dilanda kebangkrutan, bisa dibayangkan seperti apa krisis ekonomi global yang bisa terjadi. Yang pasti krisis itu akan jauh lebih berat dibandingkan krisis-krisis yang sudah pernah kita alami.

SRI LANKA-CRISIS
SRI LANKA-CRISIS (ANTARA FOTO/REUTERS/Dinuka Liyanawatte/WSJ/sad.)
 

Kasus Indonesia

Indonesia jelas berbeda dengan Sri Lanka. Ekonomi Indonesia didukung kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Kenaikan harga komoditas yang saat ini menjadi beban bagi banyak negara lain justru menjadi limpahan berkah bagi Indonesia. Penerimaan pemerintah mencatatkan kenaikan yang cukup signifikan selama periode booming harga komoditas. Hal ini tidak dialami oleh Sri Lanka.

Struktur ekonomi indonesia juga cukup kokoh ditopang oleh berbagai badan usaha baik yang dimiliki oleh negara (BUMN) maupun swasta nasional di berbagai sektor ekonomi. Indonesia punya Pertamina, Inalum, Telkom, Bank Mandiri, Bank BCA, Medco, hingga Indofood, yang kiprahnya tidak hanya diakui di dalam negeri tetapi juga global.

Semuanya aktif memutar perekonomian Indonesia menghasilkan output nasional sekaligus menjadikan Indonesia termasuk 20 besar ekonomi dunia. Sekali lagi hal ini tidak dimiliki oleh Sri Lanka.

Di luar itu, Indonesia juga memiliki kebijakan moneter dan fiskal yang terencana cukup baik. Fiskal sangat disiplin. Utang pemerintah tidak pernah melewati batas 60% dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dengan kinerja perekonomian yang konsisten didukung kedisiplinan pemerintah mengelola fiskal, investor asing dan domestik tidak pernah kehilangan keyakinannya untuk membeli surat-surat utang Indonesia. Fiskal terjaga dengan terus berputarnya utang pemerintah.

Halaman:
Selamet Riyadi
Selamet Riyadi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...