Asing Beramai-ramai Jual Saham, Ada Apa dengan BCA?
Dalam sebulan terakhir ini, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mengalami koreksi 11,24%, menyentuh harga Rp 28.025 per saham pada Senin (21/9). Penurunan ini sejalan dengan langkah investor asing yang melepas saham BBCA dari portofolionya. Nilai jual bersih atau net sell investor asing pada periode ini mencapai Rp 5,09 triliun.
Sebenarnya, aksi investor asing terhadap saham bank milik grup Djarum ini sudah dilakukan lama. Berdasarkan data RTI, asing melepas saham BBCA sejak awal tahun dengan nilai jual bersih Rp 8,04 triliun, baik di pasar reguler maupun non-reguler. Sejak awal 2020, harga saham BCA turun 16,16%.
Penurunan harga sempat dimanfaatkan oleh Santoso, Direktur BCA, untuk mengakumulasi saham perusahaannya. Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Santoso membeli 20 ribu saham BBCA pada 10 September 2020. "Harga pembelian per saham Rp 29.500 per saham," kata Raymon Yonarto Sekretaris Perusahaan Bank BCA, Senin (14/9).
Transaksi yang dilakukan Santoso mencapai Rp 590 juta. Dengan aksi ini kepemilikan sahamnya di BCA meningkat menjadi 264.583 saham dari sebelumnya 244.593 saham. Setelah pengumuman keterbukaan tersebut, harga saham BCA naik 2,46% menjadi Rp 30.250 per saham.
Aksi jual asing dan melemahnya saham BCA tidak terlepas dari pandemi corona yang turut mengganggu perekonomian. Dalam sebulan terakhir, kasus Covid-19 di dalam negeri tercatat meningkat drastis. Hal ini yang membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai 14 September 2020.
Langkah Pemprov DKI ini mendapat penolakan dari beberapa pihak, salah satunya Bos Grup Djarum Budi Hartono. Budi, orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2020, mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehari setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan PSBB secara penuh kembali. Dalam suratnya tersebut, Budi mengatakan PSBB tidak efektif dan berpotensi melawan keinginan masyarakat yang menghendaki kehidupan new normal.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Okie Ardiastama menilai kaburnya investor asing dan turunnya harga saham bank yang dimiliki oleh Grup Djarum tidak ada hubungannya dengan sikap Budi Hartono. Lebih jauh lagi, Okie menilai penurunan harga saham BCA ini murni karena proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari proyeksi.
Saham BCA sejauh ini memiliki bobot yang sangat besar untuk IHSG, dengan kapitalisasi pasar BCA mencapai Rp 690,96 triliun. Nilai ini merupakan yang tertinggi di antara emiten lain di bursa. Karenanya, sebagai emiten besar, bobot dari portofolio investor asing pun juga banyak di saham BCA.
"Jika melihat historis, saham BCA memang selalu diperdagangkan premium di pasar. Sehingga menurut kami, rebalancing portfolio dari investor asing lebih ke antisipasi terhadap sesuatu yang berada di luar skema," kata Okie kepada Katadata.co.id, Senin (21/9).
Menurutnya, saham-saham sektor perbankan bisa menjadi leading performance dan berpotensi menopang kenaikan IHSG. Salah satu yang bisa menopangnya adalah sentimen dari serapan dana program pemilihan ekonomi nasional (PEN) oleh pemerintah.
"Serapan PEN menjadi fokus investor guna melihat seberapa besar dampak dari PEN mampu menopang pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari pandemi ini," kata Okie.
Analis Binaartha Sekuritas Nafan Aji Gusta Utama juga menilai saham BCA dilepas asing murni karena faktor pandemi Covid-19 yang masih menyelimuti Tanah Air. Terlihat dari penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun dan aksi investor asing secara umum di pasar modal.
Dalam sebulan terakhir, IHSG tercatat menurun hingga 5,26% dan sejak awal tahun ini sudah turun 20,64% menyentuh level 4.999,36 pada Senin (21/9). Investor asing di seluruh pasar melakukan aksi jual dengan nilai bersih Rp 15,72 triliun dalam sebulan terakhir. Sementara sejak awal tahun ini nilai jual bersihnya Rp 40,02 triliun.
"Alasan paling krusial ialah berkaitan dengan adanya pandemi Covid-19 itu sendiri. Meski harganya turun, yang terpenting kapitalisasi pasar BCA masih tetap tertinggi," kata Nafan menjelaskan.
Menurutnya, yang terpenting adalah penerapan PSBB di DKI Jakarta saat ini tidak terlalu ketat seperti yang pernah diterapkan pada medio April-Juni 2020 lalu, sebelum akhirnya diganti menjadi PSBB transisi.
Manajemen BCA mengaku bisnisnya memang mengalami gangguan karena pandemi Covid-19. Cabang-cabangnya tutup sejalan dengan kebijakan pemilik gedung untuk menutup kegiatan. Beberapa kegiatan BCA yang dibatasi tersebut, berkontribusi di bawah 25% terhadap total pendapatan BCA pada 2019 lalu.
Merespons penyebaran Covid-19 yang membuat kondisi perlambatan bisnis nasabahnya, BCA pun memberikan restrukturisasi kredit secara selektif pada berbagai segmen. Selama bulan Maret sampai dengan Juni 2020, BCA memproses pengajuan restrukturisasi kredit sebesar Rp 115 triliun atau sekitar 20% dari total portofolio kredit yang berasal dari 118.000 nasabah.
Per tanggal 30 Juni 2020, total kredit yang telah selesai direstrukturisasi tercatat sebesar Rp 69,3 triliun atau 12% dari total portofolio kredit. Manajemen BCA melihat adanya kemungkinan peningkatan kredit yang direstrukturisasi hingga 20-30% dari total portofolio kredit, yang berasal dari 200.000-250.000 nasabah hingga akhir 2020.
Kinerja Keuangan BCA Semester I-2020
Berdasarkan data laporan keuangan, pendapatan operasional BCA pada semester I-2020 meningkat 10,3% menjadi 37,78 triliun. Namun laba bersihnya malah turun 4,8% menjadi Rp 12,24 triliun. Pada semester satu tahun lalu, capaian laba bersihnya meningkat 12,86% dari periode yang sama tahun 2018.
Salah satu penyebab tergerusnya laba bersih BCA adalah kenaikan nilai pencadangan penurunan nilai aset, yang pada semester satu 2020 mencapai Rp 6,54 triliun. Nilainya melonjak drastis 167,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. "Penurunan laba bersih yang tajam sekali, terutama memang dari CKPN (cadangan kerugian penurunan nilai) yang memang kami bentuk," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja dalam konferensi pers secara virtual, Juli lalu.
Pencadangan besar dilakukan pada periode triwulan II-2020 karena angkanya mencapai Rp 4,36 triliun, naik dua kali pencadangan triwulan I-2020 yang hanya Rp 2,17 triliun. Kenaikan pencadangan dilakukan seiring peningkatan risiko turunnya kualitas kredit. Salah satu yang terlihat adalah pada rasio kredit bermasalah alias non-performing loan (NPL) pada Juni 2020 sebesar 2,1%, naik dibandingkan Juni 2019 yang sebesar 1,4%.
BCA mengakui pandemi Covid-19 telah berdampak pada perlambatan berbagai aktivitas bisnis di beragam industri, sehingga permintaan kredit, khususnya pada Maret hingga Juni 2020 lebih rendah. Meski begitu, BCA masih mampu mencatatkan penyaluran kredit menjadi Rp 595,13 triliun hingga Juni 2020, tumbuh sebesar 5,3% dari periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan kredit ditopang segmen korporasi yang sebesar Rp 257,9 triliun, meningkat 17,7% dibandingkan periode sama sebelumnya.
Sementara kredit komersial dan UKM, tercatat turun 0,9% secara tahunan menjadi Rp 184,6 triliun. Total portofolio kredit konsumer turun 5,1% secara yoy menjadi Rp 146,9 triliun, dimana kredit pemilikan rumah (KPR) tumbuh flat 0,3% secara tahunan menjadi Rp 91,0 triliun.