Dirut Garuda Mempersilakan Lessor Ambil Pesawatnya
Industri penerbangan mengalami penurunan kinerja di tengah pandemi Covid-19, termasuk maskapai milik pemerintah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Dampaknya, Garuda kesulitan untuk membayar kewajiban sewa kepada lessor, sehingga saat ini tengah menegosiasi agar direstrukturisasi.
Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan negosiasi untuk merestrukturisasi kewajiban tersebut berjalan lancar. Namun, dari total 31 lessor yang melakukan perjanjian sewa pesawat dengan Garuda, masih ada yang tidak mau merestrukturisasi kewajiban pembayaran sewa pesawat tersebut.
Hal itu tampak membuat Irfan kecewa sehingga dia mempersilahkan lessor yang tak mau merestrukturisasi tersebut untuk mengambil pesawatnya kembali. Irfan ingin pihak lessor memahami kondisi industri penerbangan yang tengah tertekan karena minat masyarakat bepergian turun akibat pandemi Covid-19.
"Apapun perjanjian masa lalu, kami hormati, kami jalankan. Tapi hari ini kondisinya seperti ini. Kalau Anda (lessor) tidak mau tahu, bebal, ambil saja pesawatnya. Kalau mau dibawa ke pengadilan, ayo kita hadapi bersama-sama," ujar Irfan dalam wawancara bersama Katadata.co.id, Kamis (26/11).
Garuda masih terus melakukan negosiasi komersial dengan lessor untuk mencapai kesepakatan di luar pengadilan. Negosiasi dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan terbaik bagi lessor dan Garuda terkait dengan perjanjian-perjanjian sewa pesawat dan penyelesaian atas kewajiban Garuda terhadap Lessor, khususnya di masa pandemi ini.
Per September 2020, Garuda tercatat memiliki liabilitas sewa pembiayaan jangka panjang senilai US$ 4,27 miliar atau setara Rp 60,84 triliun. Nilai itu berasal tidak hanya dari sewa pesawat kepada lessor saja, tapi juga sewa mesin, bangunan, kendaraan, tanah, dan perangkat keras.
Memiliki kewajiban pembayaran kepada Lessor, Irfan menegaskan tidak akan menggunakan dana hasil penerbitan obligasi wajib konversi untuk membayar utang, termasuk kepada lessor. Obligasi tersebut, senilai Rp 8,5 triliun yang diserap oleh pemerintah selaku pemegang saham Garuda.
"Ketika pemerintah menggelontorkan dana talangan yang klasifikasinya masih belum terima karena masih dalam proses, kami tahu dana ini APBN. Dana APBN itu dana rakyat, harus kami pertanggungjawabkan dan gunakan secara benar," kata Irfan.
Dana hasil transaksi ini akan dipergunakan untuk mendukung likuiditas dan solvabilitas Garuda, khususnya digunakan untuk pembiayaan operasional. Dalam penggunaan dana ini, tidak terdapat utang bank dan utang atas obligasi yang akan dibayar atau dilunasi dengan menggunakan dana hasil transaksi.
Penerbitan obligasi ini diharapkan dapat memperbaiki posisi keuangan Garuda untuk melanjutkan keberlangsungan di masa yang akan datang dengan pondasi keuangan yang lebih baik. Pertimbangannya, peran dan kontribusi Garuda sebagai penopang konektivitas arus barang dan penumpang yang mampu mendorong pergerakan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
"Jadi dana itu akan kami gunakan memang untuk memastikan bahwa operasi perusahaan ini bisa berjalan terus," kata Irfan.
Irfan mengaku sering memperingatkan manajemen Garuda lainnya, jangan harap dengan adanya dana obligasi ini, direksi bisa menikmati hidup dan bisa duduk-duduk nyaman. Apalagi karena berpikir ada bantuan pemerintah meski perusahaan rugi. "Tidak bisa begitu," kata Irfan menegaskan.
Dana dari obligasi ini untuk memastikan keberlanjutan hidup Garuda. Urusan profitabilitas tetap membutuhkan kerja keras dari seluruh pihak di Garuda. Sehingga, di tengah kondisi Covid-19 ini, manajemen Garuda tetap harus bekerja keras mengembalikan posisi rugi yang dialami maskapai milik pemerintah ini.