Kisruh Penambang vs Pemilik Smelter Soal Harga Bijih Nikel
Persoalan harga jual bijih nikel masih berlangsung. Pemerintah telah menerbitkan aturan tata niaga nikel di dalam negeri yang disebut harga patokan mineral atau HPM. Namun, realisasinya masih jauh dari harapan. Mekanisme pasar tidak berjalan dengan baik meskipun larangan ekspor sudah berlaku.
Pemerintah lalu membentuk satuan tugas untuk mengawasi tata niaga produsen dan pembeli bijih nikel pada 20 Juli 2020. Satgas ini dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang terdiri dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pedagangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Saat dikonformasi mengenai perkembangan kerja Satgas, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak belum bisa menjelaskan lebih jauh. "Rabu baru bisa saya update, setelah rapat koordinasi," ujar dia kepada Katadata.co.id, Senin (5/10).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada bulan lalu menyatakan pemerintah harus tegas dalam mengawasi penerapan HPM bijih nikel. “Kita tidak perlu sungkan untuk memberikan sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh,” ujarnya ketika memimpin rapat koordinasi virtual.
Satgas HPM ketika itu juga sudah memberikan sejumlah rekomendasi. Pertama, memberi batas waktu hingga 1 Oktober 2020 kepada seluruh perusahaan smelter untuk menyesuaikan pembelian bijih nikel sesuai HPM. Kedua, meminta Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian untuk memberi sanksi administratif berupa surat peringatan hingga pencabutan izin bagi perusahaan smelter yang tidak patuh.
Ketiga, melakukan peninjauan fasilitas fiskal berupa tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan (PPh) terhadap perusahaan smelter yang tidak patuh. Keempat, meminta Kementerian Perdagangan melakukan kajian pembatasan ekspor hasil produksi smelter kepada perusahaan yang tidak patuh. Terakhir, melakukan kajian ketahanan cadangan bijih nikel melalui Kementerian ESDM.
Dalam rakor tersebut pun terungkap masih ada perusahaan penyurvei atau surveyor yang belum terdaftar di Kementerian ESDM tapi sudah digunakan oleh banyak perusahaan pemurnian dan pengolahan (smelter) untuk menetapkan HPM. Padahal, hal tersebut melanggar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020.
Kementerian ESDM menanggapi hal itu dengan menerbitkan Surat Edan Nomor: 03.E/30/DJB/2020 yang diperoleh Katadata.co.id. Ada lima poin utama dalam surat ini. Pertama, perusahaan surveyor yang dapat digunakan harus sudah ditetapkan Kementerian ESDM. Kedua, penggunaan surveyor selain yang tidak ditetapkan oleh Kementerian ESDM paling lambat digunakan sampai 5 Oktober 2020.
Ketiga, apabila setelah tanggal 5 Oktober 2020 pelaku usaha penambangan dan pelaku smelter masih menggunakan surveyor yang tidak ditetapkan Kementerian ESDM maka akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Keempat, dalam melakukan penjualan dan pembeli harus menggunakan surveyor yang berbeda antara titik serah dan titik muat.
Kelima, surveyor dan petugasnya harus memenuhi persyaratan sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 154/30/Mem/2929. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Ridwan Djamaludin menandantangani dan menetapkan surat tersebut pada 30 September 2020.
HPM Dituding Untungkan Penambang Nikel
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendukung dan mewajibkan para anggotanya segera menerapkan pelaksanaan transaksi bijih nikel berdasarkan HPM. Hal ini diketahui dari surat nomor 092/APNI-K/IX/2020 dan ditandatangani oleh Ketua Umum APNI Insmerda Lebang dan Sekretaris Jenderal APNI Meidy K Lengkey.
Beberapa kali APNI sempat mengungkapkan permasalahan soal HPM kepada media. Persoalan utamanya adalah pihak smelter hanya menyerap bijih nikel berkadar tinggi, di atas 1,8%, dengan harga di bawah pasar. Perusahaan pemurnian dan pengolahan pun masih ada yang memakai surveyor di luar daftar yang dikeluarkan Kementerian ESDM. Ketika dikonformasi soal ini, Meidy enggan berkomentar. "Ini tidak usah dibahas lagi. Sudah lama dan sudah clear," katanya.
Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) sebenarnya mendorong para anggota segera menerapkan pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batu bara. Hal tersebut juga sesuai dengan maklumat penegakan hukum atas Permen ESDM itu yang dikeluarkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada 28 September 2020.
Namun, Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo menyebut pembuat aturan HPM sebenarnya tak paham mengenai bisnis komoditas tambang tersebut. Patokan harga yang diakui dan diikuti secara global adalah bursa berjangka London Metal Exchange (LME). "Mana mungkin diatur oleh Kementerian ESDM setiap tiga bulan sekali," katannya.
Ia menuding aturan HPM merupakan bentuk praktik kerja sama antara Kementerian ESDM dengan APNI. Apa yang diminta APNI, terealisasi dalam aturan itu.
Usulan yang disampaikan oleh AP3I pada saat rapat membahas HPM tidak digubris sama sekali. "Yang keterlaluan, kami diundang tapi wakil kami dihapus namanya dan usulan AP3I juga dibuang di tempat sampah mungkin, karena tidak ditulis dalam risalah rapat," ujarnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menandatangani Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 pada 13 April 2020 dan diundangkan sehari kemudian. Aturan muncul untuk menampung kebutuhan penambang nikel dan pelaku usaha smelter. Harapannya, pasar nikel domestik akan tumbuh dan harga penjualan bijihnya pun sesuai dengan pasar.
Keberadaan HMP juga bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi penambang dan pembeli bijih nikel. Di dalam aturan ini tertulis pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi mineral logam wajib mengacu pada harga patokan mineral saat menjual bijih nikel. Aturan ini berlaku juga bagi IUP khusus (IUPK) untuk mineral logam.
Kewajiban itu juga ditetapkan untuk pemegang IUP dan IUPK yang menjual bijih nikelnya ke perusahaan afiliasi. "Bagi pihak lain yang melakukan pemurnian bijih nikel, yang berasal dari pemegang IUP dan IUPK mineral logam wajib membeli dengan mengacu pada HPM," demikian dikutip dari dari Permen ESDM.
Pemerintah mengatur batas harga dasar (floor price) dengan menetapkan rentang toleransi (buffer). Kisaran ini ditetapkan untuk mengantisipasi jika harga transaksi melebihi HPM logam.
Apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam, maka penjualan bijih nikel dapat dilakukan di bawah patokan dengan selisih paling tinggi 3%. Syaratnya, transaksi ini dilakukan pada periode kutipan sesuai harga acuan atau terdapat penalti atas mineral pengotor (impurities).
Kebijakannya akan berbeda jika transaksi dilakukan pada periode kutipan sesuai harga acuan atau terdapat bonus atas mineral tertentu. Dalam kasus ini, apabila harga transaksi lebih tinggi dari HPM, maka penjualan wajib mengikuti harga transaksi diatas HPM logam.
Jika ada pihak yang melanggar aturan tersebut, maka pemerintah akan memberikan peringatan dan sanksi. Mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian, atau seluruh kegiatan usaha hingga pencabutan izin.
Pengawasan HPM Dinilai Masih Kurang Efektif
Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi menilai aturan HPM hanya bagus di atas kertas saja. Implementasinya sampai sekarang tidak sesuai dengan Permen ESDM karena pengawasannya tidak efektif.
Model pemantauannya masih sentralistrik atau di tangan pemerintah pusat. Padahal, wilayah Indonesia kepulauan. Sulit bagi pusat menjangkau sampai ke daerah-daerah. "Pengawasan ini mesti dilakukan langsung ke lapangan," kata dia.
Kunci agar aturan dapat terimplementasi dengan baik adalah memberi sanksi yang tegas. Bila ada pengaduan, laporan, dan pemeriksaan ke lapangan, lalu terbukti ada permainan harga, maka sesuai Permen ESDM Izin perusahaan harus segera dicabut.
Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso berpendapat perlu ada kajian mengapa para pemilik smelter di Indonesia saat ini membeli bijih nikel dengan harga murah. Sementara, pabrik pengolahan dan pembelian di Tiongkok membayar bijih nikel Indonesia sesuai harga pasar.
Secara bisnis, menurut dia, kondisi itu tidak adil. "Apakah ada unsur kartel karena mereka tahu penambang-penambang kecil tidak bisa ekspor, atau peran trader yang berafiliasi langsung atau tidak langsung dengan pemilik smelter," kata dia.
Satgas HPM sebaiknya melakukan analisis dulu sebelum bertindak untuk menemukan akar persoalannya. "Ketika solusi sudah diketahui, maka siapa yang ditekan dan siapa yang diuntungkan harus seimbang sehingga semua pihak dapat mengikuti aturan," ujar Budi.
Indonesia merupakan negara dengan cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Sekitar 32,7 cadangan dunia berada di negara ini. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan Australia berada di urutan kedua. Posisi berikutnya adalah Brazil.
Selain itu, Indonesia juga produsen bijih nikel terbesar di dunia pada 2019. Posisi ini kemungkinan besar akan bergeser setelah pemerintah pada awal tahun ini melarang ekspor komoditas tambang tersebut. Larangan ini sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan hilirasasi tambang dan mendorong masuknya investasi baterai ke dalam negeri.
Tak heran, smelter yang ada di Indonesia saat ini sebagian besar merupakan pengolahan tambang nikel. Jumlahnya per akhir 2018 mencapai 17 smelter. Pemerintah menargetkan jumlah smelter nikel bertambah menjadi 29 unit pada 2024.