DPR Pertanyakan Plus-Minus Kebijakan Royalti 0% Produsen Batu Bara
Aturan pemberian royalti 0% untuk perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi mendapat kritik dari DPR. Anggota Komisi VII Ratna Juwita berpendapat kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja tersebut perlu pemerintah pertimbangkan kembali.
Selama ini penerimaan negara bukan pajak, termasuk royalti, cukup besar. Pada 2018, nilai PNBP dari sektor mineral dan batu bara (minerba) tercatat mencapai Rp 80 triliun.
Apabila royalti menjadi 0% tetap berlaku, pemerintah perlu mencari pengganti penerimaan negara tersebut. “Apakah sudah ada skema perhitungan antara kenaikan hilirisasi dengan sumbangan royalti batu bara,” katanya dalam rapat kerja bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (23/11).
Sependapat dengan itu, anggota Komisi VII dari Fraksi Gerindra Kardaya Warnika mengatakan royalti selama ini penting bagi negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pun menyebut semua yang terkandung dalam bumi Indonesia harus diberikan negara, sebelum pajak dan lainnya.
Ia meminta pemerintah mengkaji ulang pemberian royalti itu. “Kalau dihapus berarti kita tidak mengakui lagi sumber daya alam yang ada di tanah ini meliki negara,” ucapnya.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut royalti 0% hanya diberikan kepada perusahaan yang membangun smelter atau pabrik pengolahan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba, kebijakan ini hanya untuk nilai tambah. “PNBP-nya tetap,” katanya.
Untuk royalti 0% berdasarkan tonase batu bara dalam negeri, besarannya akan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM dengan persetujuan Menteri Keuangan. Pemberia insentif itu juga ditujukan perusahaan yang mengerjakan proyek gasifikasi batu bara.
Pemerintah sedang menggenjot proyek gasifikasi itu. Batu bara berkalori rendah nantinya akan diubah menjadi dimethyl ether atau DME. “Proyek DME ini besar dan dapat menyerap investasi hampir US$ 2 miliar,” ujar Arifi.
Hasil gasifikasi tersebut akan menggantikan elpiji atau LPG yang selama ini merupakan produk impor. Harapannya, beban keuangan negara berkurang dan defisit neraca perdagangan pun menyempit. “Mudah-mudahan di 2025 kami bisa mensubstitusi elpiji dengan DME,” ucapnya.
Proyek Hilirisasi Batu Bara Lebih Mahal Daripada Impor Elpiji
Studi lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyimpulkan proyek DME terlalu mahal dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah. Hitungannya, biaya produksi akan naik dua kali lipat lebih mahal daripada impor LPG.
Total biaya membangun fasilitas produksinya adalah Rp 6,5 juta per ton atau US$ 470 per ton. Angka ini hampir dua kali lipat dari biaya yang pemerintah keluarkan untuk mengimpor elpiji.
Karena itu, peneliti sekaligus analis keuangan IEEFA Ghee Peh mengatakan menggantikan elpiji dengan DME tidak masuk akal secara ekonomi. Lembaga itu memperkirakan proyek gasifikasi Bukit Asam dapat menggerus penghematan impor elpiji hingga Rp 266,7 miliar atau US$ 19 juta.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia sebelumnya mengatakan industri hilirisasi batu bara membutuhkan nilai investasi yang tidak sedikit. Investor membutuhkan jaminan kepastian insentif fiskal dan nonfiskal.
APBI saat ini berencana menunjuk PricewaterhouseCoopers alias PWC untuk mengkaji keekonomian proyek hilirisasi. "Masih dalam tahap perencanaan," ujarnya.