Kritik Mobil Listrik yang Tak Sejalan dengan Pengurangan Emisi
- Komisi VII DPR menganggap pengembangan mobil listrik tak sejalan dengan target bauran energi dan pengurangan emisi karbon.
- Dalam hitungan IESR, produksi emisi karbon kendaraan listrik lebih tinggi daripada yang berbahan bakar minyak.
- Pengembangan kendaraan listrik tapi sumber energinya dari PLTU, ibarat menyapu rumah dengan sapu kotor.
Program mobil listrik kena kritik. Komisi VII DPR menyorot kebijakan itu tak sejalan dengan target penurunan emisi karbon dan bauran energi.
Pemerintah saat ini sedang menggenjot kendaraan bermotor listrik berbasis baterai atau KLBB. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan proyeksi motor listrik tahun ini akan mencapai 1,34 juta unit. Untuk mobil listrik angkanya di 125 ribu unit.
Pengoperasian stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU targetnya mencapai 572 unit. Lalu, stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum atau SPBKLU sebanyak 3 ribu unit.
Arifin menyebut potensi penghematan konsumsi bahan bakar minyak atau BBM dari target-target itu mencapai 440 ribu kiloliter. “Kami akan mendorong pemakaian kendaraan listrik sampai 2030," ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (19/1).
Nah, untuk 2030 pemerintah menargetkan pemakaian motor listrik dapat mencapai 13 juta unit, sedangkan mobil listrik 2,19 juta unit. Jumlah SPKLU tumbuh menjadi 31.859 unit dan SPBKLU 67.000 unit. Dengan begitu, penghematan BBM-nya mencapai 6,03 juta kiloliter.
Pertamina Energy Institute memprediksi kebutuhan baterai akan meningkat pada tahun itu. Dengan skenario business as usual kapasitas baterai untuk kendaraan listrik 2 Giga Watt hour (GWh) dan naik menjadi 34 Giga Watt hour pada 2050. Skenari transisi energi yang masif akan menaikkan angkanya.
Upaya meningkatkan kendaraan listrik atau EV bakal mendorong kebutuhan setrum domestik untuk mengisi baterai. Namun, sampai sekarang mayoritas pasokannya masih berasal dari pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbahan bakar batu bara. Hal inilah yang kemudian Komisi VII DPR sorot karena tak selaras dengan semangat pengurangan emisi karbon.
Masalahnya, target bauran energi dari fosil ke baru terbarukan sebesar 23% di 2025 masih berjalan lamban. Capaiannya pada tahun lalu hanya 11,5% dari patokan 13%. Sebanyak 50% pembangkit masih dari bahan bakar fosil yang menyumbang besar ke emisi karbon. Tabel Databoks di bawah ini menampilkan kapasitas daya berdasarkan jenis pembangkit.
Anggota Komisi VII Ratna Juwita mendorong adanya peta jalan yang jelas soal ini. Terutama terkait sumber energi untuk kebutuhan kendaraan listrik. “Percepatan KLBBB ini tak sesuai dengan transformasi energi. Kalau otomatis kita pakai batu bara lagi, sama saja bohong,” ucapnya.
Emisi Karbon Mobil Listrik
Selain penurunan konsumsi BBM, manfaat pemakaian kendaraan listrik adalah berkurangnya emisi karbon. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut guna mendapatkan kedua manfaat itu maka sumber untuk mengisi baterainya harus dari energi baru terbarukan atau EBT.
Dari kajian IESR, emission factor di Indonesia sebesar 0,8 kilogram karbondioksida per kilo-Watt hour (kWh). Apabila listrik ini untuk kendaraan listrik, maka produksi gas rumah kacanya lebih tinggi daripada kendaraan berbahan bakar minyak. “Ini karena tingginya emisi dari listrik untuk mengisi baterai,” kata Fabby.
Di negara-negara Eropa, pembangkit energi terbarukan porsinya lebih besar daripada PLTU. Hal ini membuat faktor emisi dari kendaraan listrinya sekitar 0,3 hingga 0,4 kilogram karbondioksida per kilometer. Sedangkan di Indonesia, dengan bauran energi saat ini, maka emisi kendaraan listrik mencapai 0,82 kilogram karbondioksida per kilometer.
IESR menghitung agar emisi kendaraan listrik dapat berkurang, maka pembangkit energi terbarukan harus mencapai di atas 25% dari keseluruhan pasokan listrik. Target bauran energi 23% di 2025 tidak boleh gagal.
Guna mengejar target tersebut, langkah termudah adalah mengintegrasikan pembangkit tenaga surya atau PLTS atap di SPKLU. “Jadi, pengisian baterai tidak pakai listrik energi fosil,” katanya.
Pengembangan Mobil Listrik dan Pembangkit EBT
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat program kendaraan listrik saat ini akan menciptakan sumber emisi baru yang berdampak buruk ke lingkungan.
Emisi tidak hanya bersumber dari PLTU, tapi juga pertambangan nikel sebagai bahan baku baterai. “Tata kelola pertambangan saat ini masih buruk,” katanya.
Pengembangan kendaraan listrik sebaiknya tidak dijadikan solusi untuk mengurangi emisi karbon. Posisinya hanya sebagai bagian dari transisi energi saja. Tata mengibaratkan mendorong mobil setrum tapi masih memakai listrik dari batu bara seperti membersihkan rumah dengan sapu kotor.
Karena itu, perlu strategi lebih besar. Pengembangan kedua hal itu harus berjalan beriringan. Peta jalan kendaraan listrik sebaiknya selaras dengan transisi energi pembangkit dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL.
Langkah paling konkret lainnya adalah pemerintah melakukan moratorium PLTU batu barah tahun ini. Cara ini tidak akan mengganggu pasokan karena kondisi listrik saat ini sedang berlebih.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat pengembangan mobil listrik seperti buah simalakama. Namun, program ini harus tetap berjalan. Negara lain telah melakukan langkah serupa untuk melakukan transisi energi.
PLTU sebenarnya memiliki teknologi untuk mengurangi gas buang. Namanya, ultra supercritical atau USC. “Kita perlu mengembangkan pembangkit ramah lingkungan. Tapi ini masih jalan panjang,” ucap Mamit.
Opsi pengembangan pembangkit menggunakan gas bumi bisa menjadi lebih baik dibandingkan batu bara. Persoalannya, harga gas tak seekonomis batu bara.
Ia memperkirakan ketergantungan Indonesia pada bahan bakar batu bara masih akan cukup lama. Program 35 ribu megawatt masih didominasi PLTU.
RUPTL 2021-2030 yang akan terbit sebaiknya memprioritaskan porsi bauran EBT. "Saya kira yang paling mudah adalah ganti bahan bakar mobil dulu sambil pararel menyiapkan pembangkit energi terbarukan," ujarnya.
Sebelumnya, pengembangan kendaraan listrik secara masif sempat mendapat kritik dari bos pabrikan mobil terbesar dunia yakni Toyota. Menurut dia, model bisnis otomotif saat ini akan runtuh jika industri beralih ke kendaraan listrik terlalu tergesa-gesa.
Presiden Toyota Motor Corporation Akio Toyoda mengatakan Jepang akan kehabisan listrik pada musim panas apabila semua mobil memakai tenaga listrik. Infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung armada kendaraan listrik akan menelan biaya 14 triliun hingga 37 triliun yen. Angka ini sekitar Rp 1.919 triliun hingga Rp 5.974 triliun dengan asumsi kurs Rp 137,14 per yen.
Pengurangan emisi karbon menjadi tidak efektif karena sebagian besar listrik di negara itu memakai bahan bakar batu bara dan gas alam. “Semakin banyak EV yang kita buat, semakin buruk emisi karbondioksida,” kata Toyoda, dikutip dari Observer.