Ahli Sebut Pengesahan UU PDP Terancam Jadi Macan Kertas
Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan oleh DPR, Selasa (20/9), yang terdiri atas 371 daftar inventarisasi masalah (DIM) dan 16 bab serta 76 pasal. Menurut ahli, pengesahan UU PDP dikhawatirkan hanya akan menjadi macan kertas.
Dalam keterangan resminya pada Selasa (20/9), Peneliti Keamanan Siber Communication Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha menilai ini sebagai titik di mana Indonesia lebih serius dalam menghadapi persaingan dan pergeseran global yang semakin terdigitalisasi.
“UU PDP ini titik start kita bersama menghadapi tantangan globalisasi yang semakin digital,” katanya.
Menurutnya, setelah ini harus segera membentuk lembaga otoritas Perlindungan Data Pribadi yang kuat, independen dan powerful. “Jangan sampai Komisi PDP nanti tidak sekuat yang kita cita-citakan,” jelasnya.
Pratama mengatakan, bahwa perlu dibuat aturan turunan mengenai sanksi yang tegas untuk Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) lingkup Publik atau Pemerintah. Sehingga mempertegas posisi UU Pelindungan Data Pribadi terhadap PSE yang mengalami kebocoran data.
“Aturan terkait standar teknologi, SDM dan manajemen data seperti apa yang harus dipenuhi oleh para PSE,” jelas Pratama.
Berdasarkan isi dari UU PDP, Pratama menilai bahwa pembentukan komisi PDP tidak diamanatkan secara eksplisit.
Dalam pasal 64 disebutkan sengketa perlindungan data peribadi harus diselesaikan lewat lembaga yang diatur oleh UU. “Karena disinilah nanti Komisi PDP harus dibentuk dengan jalan tengah, lewat Peraturan Presiden, hal yang disepakati sebagai jalan tengah antara DPR dan Kominfo,” jelas Pratama.
Menurutnya, posisi Komisi PDP sangat krusial. “Karena baik pemerintah dan DPR menempatkan orang yang tepat serta memiliki kompetensi untuk memimpin lembaga otoritas PDP atau Komisi PDP ini,” katanya.
Pratama menegaskan, bahwa perlindungan data pribadi ini bila perlu dibuat Pakta Integritas untuk pejabat pemerintah yang bertanggung jawab terhadap data pribadi dan siap mundur jika terjadi kebocoran data pribadi. “Karena selama ini kebocoran data pribadi dari sisi penyelenggara negara sudah sangat memprihatinkan”, tegasnya.
Ia berpendapat bahwa perlunya memberikan wewenang yang cukup untuk lembaga otoritas PDP dalam menegakkan UU PDP. Ia berkata, “jangan sampai menjadi macan ompong dan nanti dituduh menghabiskan anggaran negara saja”.
Pratama menambahkan bahwa keberadaan lembaga otoritas PDP dinilai akan menjadi warisan yang sangat baik dari pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bila bisa mendorong lahirnya Lembaga Otoritas PDP yang kuat, kredibel dan bisa menjadi pelindung serta tempat terakhir meminta keadilan bagi masyarakat terkait sengketa perlindungan data pribadi.
Pengesahan UU PDP ini harus direspon dengan segera melakukan audit keamanan informasi di semua PSE, baik lingkup Private atau Publik. Apalagi kasus kebocoran data masih menjadi perhatian masyarakat luas dengan kasus Bjorka.
“Nantinya Lembaga Otoritas PDP bisa bersama BSSN membuat aturan standar tentang pengaman data pribadi di lingkup Private dan lingkup Publik,” kata Pratama. “Sehingga nantinya penegakan UU PDP bisa lebih detail dan jelas”.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai bahwa substansi materi UU PDP yang disepakati memang telah mengikuti standar dan prinsip umum perlindungan data pribadi yang berlaku secara internasional. Terutama adanya kejelasan rumusan mengenai definisi data pribadi, jangkauan material yang berlaku mengikat bagi badan publik dan sektor privat, perlindungan khusus bagi data spesifik, adopsi prinsip-prinsip pemrosesan data pribadi, batasan dasar hukum pemrosesan data pribadi, perlindungan hak-hak subjek data, serta kewajiban pengendali dan pemroses data.
“Artinya, dengan klausul demikian, mestinya legislasi ini dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang menyeluruh dalam pemrosesan data pribadi di Indonesia,” katanya, Selasa (20/9).
Meski begitu, Wahyudi menilai bahwa implementasi dari undang-undang ini berpotensi problematis, hanya menjadi macan kertas, lemah dalam penegakannya. Hal tersebut dikarenakan ketidaksolidan dalam perumusan pasal-pasal terkait dengan prosedur penegakan hukum, sebagai imbas kuatnya kompromi politik, khususnya berkaitan dengan Lembaga Pengawas Perlindungan Data Pribadi.
Belajar dari praktik di negara lain, kunci efektivitas implementasi UU PDP berada pada otoritas perlindungan data, sebagai lembaga pengawas yang akan memastikan kepatuhan pengendali dan pemroses data, serta menjamin pemenuhan hak-hak subjek data.
“Apalagi ketika UU PDP berlaku mengikat tidak hanya bagi sektor privat, tetapi juga badan publik (kementerian/lembaga),” kata Wahyudi. “Maka independensi dari otoritas ini menjadi mutlak adanya, untuk memastikan ketegasan dan fairness dalam penegakan hukum PDP”.
Meski UU PDP ditegaskan berlaku mengingat baik bagi korporasi maupun pemerintah, undang-undang ini justru mendelegasikan kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden.