Kinerja Keuangan Masih Lemah, Krakatau Steel Jalankan Strategi Ini
Emiten produsen baja BUMN, PT Krakatau Steel TBK (KRAS) melakukan beberapa strategi untuk melakukan penyehatan keuangan perusahaan. Hal ini seiring dengan kerugian yang masih dialami oleh perusahaan pelat merah yakni US$ 61,40 juta, setara Rp 951,04 miliar per September 2023.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KRAS, Tardi, mengatakan kinerja keuangan sepanjang 2023 diproyeksikan tidak lebih baik dari kinerja keuangan 2022. Dirinya mengaku perusahaan masih akan mengalami tekanan kinerja pada tahun ini. Namun, emiten bersandi KRAS ini telah menyiapkan beberapa strategi mengantisipasi hal itu.
"Pertama, mengoptimalkan sub holding yang ada di Krakatau Steel serta memanfaatkan potensi-potensi seperti proyek di IKN yang memberikan kontribusi signifikan," katanya kepada wartawan dalam paparan publik, Selasa (23/11). Selanjutnya, mengoptimalkan kinerja dari sub holding KRAS yaitu PT Krakatau Sarana Infrastruktur.
Tardi beralasan jika kinerja keuangan perseroan akan terpukul per 2023, salah satunya disebabkan oleh fasilitas pabrik Hot Strip Mill 1 (HSM 1) masih mengalami kendala.
Sebagai informasi, HSM 1 mengalami kerusakan pada switch house finishing akibatnya fasilitas perusahaan ini berhenti beroperasi. "Namun kami akan selalu melakukan yang terbaik untuk investor," ucap Tardi.
Selain itu, dia menjelaskan ada sejumlah tren global ekonomi dan industri yang berdampak langsung kepada industri baja. Pertama, tren yang sudah terjadi dalam beberapa dekade ini mengenai penurunan intensitas baja yang digunakan industri otomotif.
"Jadi kebutuhan terhadap baja untuk mobil dari tahun ke tahun di setiap 10 tahun itu turun 4% sampai 7%," katanya. Dia menilai hal ini sebagai suatu tantangan bagi baja untuk mengembangkan baja yang kuat dan ringan.
Kedua, permintaan baja untuk kapal pengangkut LNG dan Smart Ships akan lebih banyak dibandingkan dengan perintaan untuk kapal-kapal kontainer, kapal batu bara dan kapal tanker.
Ketiga, meningkatnya permintaan baja global karena investasi pada sektor konstruksi yaitu CAGR 2,5%. Adanya pembangunan smart green dan mega cities sebabnya menggunakan baja yang high strength.
Keempat, era transisi global menuju energi baru dan terbarukan. Ini hal utama untuk menuju industri hijau karena yang paling berat adalah mengenai energinya. "Kalau energinya sudah green makanya pembuatan bajanya harus memenuhi kriteria yang terbarukan," sebutnya.