Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok sempat mereda. Mulai awal bulan ini, kedua negara menyepakati "gencatan senjata" selama tiga bulan ke depan. Namun, di tengah kesepakatan tersebut, AS memperkeruh keadaan dengan meminta Kanada menahan pimpinan salah satu perusahaan teknologi terbesar Tiongkok. Dampaknya, beberapa produk dan investasi AS terancam di Tiongkok.
Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Tiongkok, Xi Jinping melakukan pertemuan saat Konferensi G20 di Buenos Aires, Argentina, pada 1 Desember lalu. Dalam pertemuan ini kedua negara sepakat meredakan ketegangan akibat perang dagang.
AS ingin Tiongkok membuka pintu pasar domestiknya lebih besar lagi dan menghentikan kebijakan yang dianggap sebagai pencurian hak cipta teknologi. Tiongkok berjanji akan melakukan dua hal tersebut, dengan syarat AS tidak menaikkan tarif impor sisa komoditas mereka.
Trump mengatakan setelah kesepakatan di Argentina, Pemerintah Tiongkok mulai kembali membeli susu kedelai AS dalam jumlah besar. Sebelumnya, pembelian sempat berhenti karena Tiongkok memberlakukan kenaikan tarif impor pada komoditas AS, sebagai balasan atas kenaikan tarif impor barang mereka yang diberlakukan AS sebelumnya.
Pemerintah Tiongkok juga mengumumkan pemangkasan tarif impor untuk mobil beserta suku cadang buatan Amerika Serikat (AS), mulai 1 Januari 2019. Sebelumnya, pada pertengahan tahun ini saat perang dagang memanas, Tiongkok menaikkan tarif impor mobil dan suku cadang asal AS sebesar 25%. Langkah ini merupakan balasan atas tarif barang asal Tiongkok yang masuk ke AS, yang totalnya US$ 50 miliar.
(Baca: Dampak Perang Dagang, Produsen Korea dan Tiongkok Lirik Indonesia)
Namun, kesepakatan ini bisa terancam. Pada hari yang sama dengan deklarasi gencatan senjata perang dagang AS-Tiongkok, Direktur Keuangan sekaligus penerus tahta Huawei, Meng Wanzhou ditangkap di Kanada. Penangkapan ini atas permintaan pengadilan di New York.
Meng dituduh telah mengelabui bank-bank multinasional tentang perusahaan yang dikuasai Huawei yang beroperasi di Iran. Hal itu membuat bank-bank tersebut berisiko besar melanggar sanksi AS.
AS juga meminta otoritas Kanada mengekstradisi Meng, untuk menjalani hukuman di pengadilan AS. Dokumen pengadilan mengatakan Meng dapat dikenakan hukuman berat. Jika diekstradisi ke AS, Meng dapat menghadapi tuduhan penipuan lembaga keuangan, dengan ancaman penjara maksimal 30 tahun.
Tiongkok melalui Wakil Menteri Luar Negerinya Le Yucheng telah menyampaikan peringatan kepada Duta Besar Kanada di Beijing. Ada konsekuensi yang akan muncul, jika Kanada tidak membebaskan Meng, apalagi menyerahkannya kepada pengadilan AS.
Beberapa hari setelah Meng ditangkap, Tiongkok juga menangkap dua warga negara Kanada. Mereka adalah Michael Kovrig dan Michael Spavor. Kovrig adalah seorang diplomat yang saat ini bekerja di Global Affairs Canada, sedangkan Sparov merupakan pengusaha yang mendirikan sejumlah lembaga nirlaba.
Pihak Kanada pun luruh. Pengadilan setempat memenuhi permintaan bebas Meng dengan membayar jaminan US$ 10 juta. Namun, Meng masih menunggu sidang permohonan untuk tidak ekstradiksi ke AS.
Laman the Verge melaporkan Meng harus tetap berada di British Columbia, Kanada, dan diawasi seorang petugas pengadilan. Meng hanya diperbolehkan keluar rumah pada pagi hingga sore hari. Dia juga harus menyerahkan paspornya, dipasangi gelang kaki sebagai pelacak dan diawasi kantor pengawas keamanan.
(Baca juga: Trump akan Intervensi Kasus Huawei, Semua Bursa Saham Asia Menghijau)
Di balik kasus penangkapan ini, perusahaan manufaktur teknologi Huawei dituduh terkait dengan pihak militer Tiongkok, sehingga produknya bisa digunakan sebagai alat mata-mata. Pemerintah AS telah menghubungi sekutunya, termasuk Jepang, Italia dan Jerman, memperingatkan mereka risiko menggunakan perangkat Huawei.
Walhasil, saat ini sejumlah negara melarang penggunaan produk telekomunikasi Tiongkok, yakni Huawei dan ZTE. Australia dan Selandia Baru telah mengesahkan aturan itu. Jepang tengah mengusulkan pelarangan serupa di negaranya. Sementara grup perusahaan telekomunikasi Inggris, BT, menyatakan tak akan membeli perangkat 5G Huawei.
Penangkapan penerus tahta Huawei ini menunjukkan makin intensifnya perang antara AS dan Tiongkok merajai teknologi. Direktur Program Kebijakan Pusat Strategi dan Studi Internasional di Washington James Andrew Lewis mengatakan kemampuan menguasai teknologi saat ini menjadi barometer kekuatan sebuah negara.
Kondisinya, saat ini penguasaan teknologi amat penting bagi suatu negara. Berbeda dengan abad ke-20, yang kekuatannya terletak pada sumber daya alam dan kemampuan memproduksi barang dalam jumlah besar. "Kemampuan menciptakan dan menggunakan teknologi baru adalah sumber kekuatan ekonomi dan keamanan militer," ujarnya seperti dikutip CNN (11/12).
Tiongkok pun tidak mau tinggal diam menghadapi persoalan ini. Seruan boikot produk ponsel buatan Apple, IPhone pun mulai bergaung di Tiongkok.
Ada yang mengancam pengguna iPhone akan dikenai sanksi. Ada pula yang berjanji memberikan subsidi jika ingin membeli ponsel buatan Tiongkok. Beberapa lembaga dan perusahaan di Tiongkok meminta para staff menunjukkan dukungan pada Huawei.
"Tujuan Amerika adalah untuk menghalangi kebangkitan Tiongkok. Kami sebagai orang Tiongkok harus bersatu dan mendukung produk nasional," kata organisasi perdagangan di Shanghai, Nanchong Chamber of Commerce.
Salah satu perusahaan pemasok komponen elektronik di Shenzhen menyatakan akan memberi subsidi 15% kepada karyawan yang membeli ponsel buatan Huawei dan ZTE. Sebaliknya, perusahaan akan menghukum staff yang membeli ponsel Apple dengan denda 100% harganya. Begitu pula dengan produk elektronik buatan AS lainnya.
Chengdu RYD Information Technology menyatakan hanya akan menggunakan perangkat Huawei mulai saat ini. Mereka menawarkan subsidi 15% kepada karyawan yang membeli produk Huawei. Perusahaan lain yang mendukung penuh Huawei adalah Xinjiang Nor-West Star Information Technology.
Selain seruan boikot produk Apple, perusahaan AS juga terancam bisnisnya di Tiongkok. Salah satunya perusahaan pembuat pesawat Boeing yang akan meresmikan pabrik pertamanya di Tiongkok. Pabrik hasil kerja sama dengan Commercial Aircraft Corp. of China Ltd (Comac) ini telah dimulai pembangunannya sebelum Trump terpilih menjadi Presiden AS.
Dampak perang dagang memunculkan ancaman Tiongkok akan menaikkan tarif untuk produk Boeing 737. Padahal, selama ini Tiongkok merupakan pembeli terbesar pesawat model tersebut di seluruh dunia. Boeing 737 juga merupakan sumber keuntungan terbesar perusahaan tersebut.
Di sisi lain, Boeing terancam kehilangan pelanggan Tiongkok. Anak usaha China Southern Airlines Co, Xiamen Airlines, telah memulai pembicaraan bisnis dengan Airbus. Padahal, selama lebih dari 30 tahun Xianmen menjadi pelanggan Boeing. Tiongkok diperkirakan membutuhkan sekitar 7.700 pesawat komersial dalam 20 tahun ke depan, senilai US$ 1 triliun untuk Boeing, Airbus, dan produsen lokal seperti Comac.
Sebagai eksportir terbesar AS, Boeing telah mendesak pemerintah kedua negara untuk menyelesaikan masalah perdagangan. Apalagi industri kedirgantaraan telah menghasilkan surplus neraca dagang AS hingga US$ 80 miliar per tahun.
Tiongkok merupakan negara yang sangat penting bagi bisnis Boeing. Data CAPA Center for Aviation per Agustus 2018 mencatat Boeing memiliki 1.670 unit pesawat yang melayani pasar Tiongkok. Sementara Airbus hanya 1.598 unit pesawat. Makanya, Boeing memutuskan membangun pabrik di Tiongkok. "Pabrik ini adalah titik yang sangat menarik dalam sejarah kami untuk memiliki skala sebesar ini di Tiongkok," kata John Bruns, Presiden Boeing China, seperti dikutip Bloomberg (15/12).
Selama ini, perusahaan manufaktur pesawat asal Seatle tersebut tidak memiliki pabrik lain di luar AS. Meski begitu, McDonnell Douglas Corp yang dibeli Boeing pada 1997, telah melakukan investasi besar-besaran dalam produksi MD-80 di Tiongkok.