Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate menargetkan revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran bisa rampung pada 2024. Pihak lain yang berkepentingan atas revisi undang-undang yang telah berumur 17 tahun tersebut adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
"UU Penyiaran kami targetkan bisa disahkan tahun 2024. Tetapi kami terus berupaya untuk mempercepat aturan ini karena sudah menjadi prolegnas DPR RI," kata Johnny di Jakarta, Senin (28/10) lalu.
Di antara poin yang diatur revisi UU nomor 32 tahun 2002 itu adalah soal migrasi televisi (TV) analog ke digital. Ia menjelaskan, Indonesia saat ini tertinggal dari sejumlah negara di Eropa, Amerika, bahkan ASEAN dalam penerapan TV digital. Padahal, Indonesia sudah cukup lama mempersiapkan rencana tersebut.
Johnny menyebut, salah satu penghambat rencana migrasi TV analog ke digital adalah karena belum adanya payung hukum yang menaungi. Maka, poin ini akan dimasukkannya dalam revisi UU penyiaran.
(Baca: Kominfo Targetkan Migrasi TV Analog ke Digital Paling Lambat 2024)
Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kominfo Kalamullah Ramli mengatakan, jika migrasi TV analog ke digital bisa dilakukan lebih cepat, maka Kominfo akan memiliki digital dividen. Digital dividen merupakan frekuensi yang didapat dari perubahan penyiaran TV analog ke TV Digital yang berada di frekuensi 700 Mhz.
Sedangkan, KPI mendorong revisi UU Penyiaran agar dapat mengawasi konten pada platform streaming seperti Youtube dan Netflix. KPI selama ini memang hanya berwenang mengawasi sekaligus mengatur konten media konvensional seperti TV serta radio.
Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan aturan turunannya dalam Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Pengawasan pada platform streaming seperti Youtube dan Netflix dinilai perlu, sebab banyak di antara milenial dan Gen Z yang telah beralih dari menonton acara TV. “Ini kebutuhan mendesak karena media baru juga agen sosialisasi yang akan mengubah karakter bangsa," kata Ketua KPI Agung Suprio. Berikut gambarannya:
Bagaimanapun, konten Youtube, Netflix, dan media streaming digital lain sejatinya tak berjalan tanpa pengawasan. Masyarakat, termasuk KPI, dapat mengadukan konten negatif di internet ke Kominfo.
(Baca: Kominfo Blokir Ribuan Konten Vulgar dari TikTok hingga Smule)
Selanjutnya, Kominfo dapat melakukan take down konten yang dimaksud, hingga blokir sementara hingga pengelola platform melakukan perbaikan. “Ini juga berlaku untuk media sosial seperti Facebook, atau yang pernah kami lakukan terhadap Telegram, hingga TikTok,” kata Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia.
Di luar pengawasan platform streaming, KPI juga mendorong revisi UU Penyiaran untuk mengakomodir evaluasi sistem rating acara TV. Jika selama ini rating acara TV hanya ditentukan oleh jumlah penonton, KPI ingin agar ada penilaian konten sebagai komponen rating.
Agung mencontohkan, jika suatu acara digemari penonton namun isinya oleh KPI dinilai tidak ramah anak, maka rating-nya dapat diturunkan, kuota iklannya pun ikut terpangkas. Aturan ini diharapkan dapat mendorong rumah-rumah produksi dan stasiun TV untuk membuat acara yang lebih berkualitas.
(Baca: Video: Kemenkeu Bidik Pajak Netflix )
Lalu, bagaimana respons masyarakat? Pada Agustus 2019 lalu, lebih dari 114 ribu orang menandatangani petisi online untuk menolak Pengawasan KPI pada platform streaming video.
Setidaknya, ada empat alasan Dara Nasution menggagas petisi tersebut. Pertama, wewenang KPI hanya sebatas aturan penyiaran televisi dan radio dalam jangkauan frekuensi, sehingga tak masuk konten media digital. Kedua, KPI tidak memiliki kewenangan sensor, bahkan sampai pelarangan.
Ketiga, Netflix dan YouTube adalah alternatif tontonan masyarakat karena kinerja buruk KPI dalam pengawasan tayangan televisi dan radio. Terakhir, Netflix adalah layanan berbayar, berbeda dengan TV swasta yang menggunakan frekuensi publik.