Meluasnya pandemi virus corona telah berdampak terhadap perekonomian dunia. Ancaman resesi di depan mata, dan beberapa sektor usaha di titik kritis. Bisnis penerbangan merupakan sektor usaha yang terpukul pertama dan paling dalam. Pandemi corona membuat industri penerbangan global kehilangan penumpang sebesar Rp 469 triliun tahun ini. 

Data John Hopkins University & Medicine mencatat Covid-19 telah menyebar ke 175 negara hingga Jumat, 27 Maret atau bertambah enam negara dari empat hari sebelumnya. Angka korban secara global saat ini sebanyak 531.708 orang terinfeksi positif corona yang menyebabkan 24.053 orang meninggal dunia dan 122.203 sembuh.

Penyebaran virus corona ini mengguncang ekonomi dunia. Pasar saham global anjlok akibat Covid-19 yang mulai merebak pada 31 Desember lalu. Data Bloomberg pada 19 Maret lalu mencatat nilai saham FTSE dan Dow Jones mengalami penurunan terendah sejak 1987. Turun 34,1% untuk FTSE dan 31,1% untuk Dow Jones.

Data Bloomberg juga menyebut bank sentral entral di 50 negara dunia merespons kondisi ini dengan memangkas angka suku bunga. Salah duanya adalah The US Federal Reserve dan Bank of England. Secara teori, kebijakan ini dikeluarkan Bank Sentral agar pinjaman lebih murah dan dapat menstimulus perekonomian.

Selain berdampak pada bursa dan sektor keuangan, pandemi corona juga menekan sektor riil. Industri penerbangan adalah salah satu yang terpukul. Data OAG Aviation World Wide menunjukkan tren kapasitas jadwal terbang secara global yang terus menurun selama 12 minggu ke belakang (6 Januari-23 Maret) dibandingkan tahun 2019 pada periode sama.

Pada 3 Februari kapasitas jadwal terbang global lebih rendah 3,6% dibanding tahun sebelumnya pada tanggal sama. Angka itu terus lebih rendah setelahnya. Titik paling dalam pada 23 Maret sebesar 28,7% lebih rendah dibanding tanggal sama pada 2019.

(Baca: Sri Mulyani: IMF Sebut Ekonomi Global Tahun Ini Negatif Karena Corona)

Dari data tersebut diketahui pula Tiongkok mengalami penurunan kapasitas jadwal terbang terendah dibanding negara lain. Pada 17 Februari, Tiongkok mengalami penurunan sebesar 70,8% dibanding 2019 pada tanggal sama.

Namun, Tiongkok mengalami tren positif kapasitas jadwal terbang pada hari-hari selanjutnya. Pada 23 Maret, Tiongkok mengalami penurunan sebesar 37,5% dibanding tahun sebelumnya pada tanggal sama. Berbanding terbalik dengan Korea Selatan yang mengalami tren negatif kapasitas jadwal terbang dari penurunan sebsar 15,7% pada 17 Februari menjadi 55,7% pada 23 Maret dibanding tahun 2019 dalam rentang waktu sama.

Penurunan kapasitas jadwal terbang secara global tersebut adalah akibat kebijakan negara-negara dunia melarang perjalanan masuk dan keluar wilayahnya. Menurut data International Air Transport Association (IATA), lebih dari 100 negara menerbitkan larangan perjalanan masuk dan keluar wilayahnya. Termasuk memberlakukan larangan terbang dari dan ke wilayah tertentu.  

Contohnya, Amerika Serikat (AS) memberlakukan larangan bepergian ke dan dari wilayah 26 negara anggota Schengen Uni Eropa (EU) selama 30 hari dimulai 11 Maret lalu. Begitupun EU melarang seluruh anggota Schengen menerima dan melakukan penerbangan ke wilayah AS selama 30 hari terhitung 16 Maret lalu.

Industri Penerbangan Berpotensi Rugi Miliaran Dolar

IATA menghitung potensi kerugian US$ 20 miliar dari penerbangan penumpang akibat travel ban di rute AS-Schengen. Angka itu didapat dari sekitar 200 ribu penerbangan antara AS dan 26 negara Schengen dengan rata-rata 550 penerbangan per hari dalam kondisi normal.

Selain potensi kerugian dari rute AS-Schengen, IATA dalam publikasi berkala berjudul Initial Impact Assesment of The Novel Coronavirus juga memprediksi kerugian industri penerbangan global dari kehilangan penumpang pada 2020 akibat Corona berdasarkan simulasi dampak SARS pada 2003. Estimasi SARS mengalami kondisi terburuk setelah 1-3 bulan dan pulih setelah 6-7 bulan. 

Dalam publikasi pertamanya pada 20 Februari, IATA memprediksi kerugian industri penerbangan global akibat kehilangan penumpang sebesar US$ 29,3 miliar pada 2020 dengan kerugian tertinggi di wilayah Asia Pasifik sebesar US$ 27,8 miliar. Kerugian besar di Asia Pasifik adalah dampak pasar domestik Tiongkok yang berpotensi mengalami kerugian US$ 12,8 miliar dari kehilangan penumpang sepanjang 2020.  

(Baca: Senat AS Dukung Trump Gelontorkan Stimulus Rp 32.000 T Hadapi Corona)

Publikasi kedua IATA pada 5 Maret 2020 memberikan dua skenario potensi kerugian industri penerbangan global berdasarkan persebaran Covid-19. Skenario pertama berjudul Limited Spread yang menghitung variabel negara-negara dengan minimal 100 orang terkonfirmasi positif Corona, menghasilkan potensi kerugian sebesar US$ 63 miliar dari kehilangan penumpang pada 2020.

Sementara skenario kedua berjudul Extensive Spread yang memasukkan negara dengan 10 orang atau lebih positif Corona, menghasilkan potensi kerugian sebesar US$ 113 miliar dari kehilangan penumpang sepanjang 2020.

IATA mempublikasikan prediksi termutakhirnya pada 24 Maret lalu. Potensi kerugian akibat kehilangan penumpang sepanjang 2020 adalah sebesar US$ 252 miliar.  Angka tersebut didapat berdasarkan data mutakhir jumlah negara terdampak Corona serta kebijakan lebih dari 100 negara menutup akses penerbangan dari dan ke wilayahnya atau setara 98% pasar penerbangan dunia.

Menurut IATA, potensi kerugian tersebut bisa membuat maskapai bangkrut. Karena, masa pemulihan setidaknya memakan waktu 7 bulan dengan menggunakan stimulus fiskal pemerintah. Sedangkan, secara umum maskapai hanya memiliki persediaan dana produksi selama dua bulan untuk memulai tahun.

Dari data IATA dapat dimengerti alasan CEO Ryanair, Michael O’Leary mengambil kebijakan untuk menghemat uang tunai di tengah krisis Corona. “Jika kami harus beroperasi untuk tiga, enam, sembilan, atau bahkan dua belas bulan tanpa penerbangan dan keuntungan, dengan apa kami akan bertahan?” katanya kepada Reuters (21/3).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement