Rupiah Anjlok 9,2%, Neraca Keuangan Korporasi Terancam Kontraksi

Abdul Azis Said
20 Oktober 2022, 19:59
Petugas menghitung uang dolar AS dan uang Rupiah di salah satu kantor cabang PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, KCU Melawai, Jakarta, Selasa (16/8/2022).
ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc.
Petugas menghitung uang dolar AS dan uang Rupiah di salah satu kantor cabang PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, KCU Melawai, Jakarta, Selasa (16/8/2022).

Nilai tukar rupiah terus melemah dan berada di level Rp 15.572 pada penutupan perdagangan hari ini. Depresiasi rupiah ini berpotensi mengganggu dunia usaha, khususnya sektor-sektor yang berorientasi pada impor dan perusahaan-perusahan yang memiliki eksposur utang berbentuk dolar AS dalam jumlah tinggi.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah telah terkoreksi 9,2% dibandingkan akhir tahun lalu. Rupiah bahkan telah melemah 3,9% dalam sebulan terakhir.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri memperingatkan depresiasi nilai tukar akan memukul neraca keuangan perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Hal ini terutama akan membebani perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS.

"Jika pasar anda adalah pasar domestik atau pendapatan anda dalam rupiah tetapi repatriasi keuntungan dilakukan dalam dolar AS, maka akan terjadi kontraksi pada neraca keuangan karena mismatch mata uang," kata Chatib dalam acara Konferensi Internasional BUMN, Selasa (18/10).

Berdasarkan data Statistik Utang Luar Negeri (SULN) Indonesia, perusahaan-perusahaan di dalam negeri memiliki utang luar negeri sebesar US$ 204,1 miliar atau setara Rp 3.032 triliun (kurs Jisdor 14.852/US$) per Agustus 2022. Mayoritas dari utang tersebut dalam bentuk dolar AS, mencakup 88,2%.

Sektor Paling Terdampak

Empat sektor usaha menumpuk utang paling besar dengan kontribusi lebih dari seperempat utang luar negeri korporasi Indonesia.

Sektor jasa keuangan dan asuransi memiliki utang luar negeri paling banyak mencapai US$ 41,7 miliar, disusul sektor pengadaan listrik, gas uap dan udara sebesar US$ 39,7 miliar. Sementara utang sektor pertambangan dan penggalian sebesar US$ 38,9 miliar dan industri pengolahan sebesar US$ 37,9 miliar.

Kepala Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan perusahaan yang basis produksinya menggunakan barang impor juga perlu waspada. Pasalnya, depresiasi nilai tukar menyebabkan harga barang yang diimpor menjadi lebih mahal.

Meski demikian, tidak semua industri manufaktur terimbas. Misalnya saja industri garmen yang terkenal banyak mengimpor bahan baku seperti benang.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...