Kelapa Sawit Sebagai Penopang Perekonomian Nasional
Meningkatnya kebutuhan minyak nabati domestik serta besarnya potensi ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/cpo) telah memicu pesatnya pertumbuhan luas kebun sawit di tanah air. Pada 1980, luas lahan kebun sawit hanya 295 ribu hektare, tapi 30 tahun kemudian bertambah berlipat-lipat.
Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pada 2019, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan telah menjadi 14,68 juta hektare, atau bertambah hampir 50 kali lipat. Bahkan bila mengacu pada data hasil rekonsiliasi perhitungan luas tutupan kelapa sawit nasional pada 2019, angkanya lebih besar lagi yakni 16,38 juta hektare.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kelapa sawit (minyak sawit dan inti sawit) 2018 adalah 48,68 juta ton, terdiri dari 40,57 juta ton minyak kelapa sawit (crude palm oil-CPO) dan 8,11 juta ton minyak inti sawit (palm kernel oil/PKO). Jumlah produksi tersebut berasal dari perkebunan sawit rakyat sebesar 16,8 juta ton (35%), perkebunan besar negara 2,49 juta ton (5%), dan perkebunan besar swasta 29,39 juta ton (60%).
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat, 70 persen dari produksi sawit 2018 dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan ekspor dan 30 persen sisanya untuk konsumsi dalam negeri. Nilai sumbangan devisa minyak kelapa sawit Indonesia sepanjang 2018 mencapai US$20,54 miliar atau setara Rp289 triliun.
Sampai hari ini, minyak kelapa sawit masih menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia dan penyumbang devisa terbesar. Kontribusi devisa minyak sawit tak kalah dari batu bara (US$ 18,9 miliar atau setara Rp 265 triliun pada 2018– data BPS). Tiga terbesar negara tujuan ekspor minyak sawit Indonesia adalah India (6,71 juta ton), Uni Eropa (4,78 juta ton), dan Tiongkok (4,41 juta ton).
SDM Kelapa Sawit
Selain jadi penyumbang devisa, industri kelapa sawit juga menyediakan lapangan pekerjaan yang besar. Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian pada 2019, 59 persen perkebunan kelapa sawit dikelola perusahaan dan 41 persen dimiliki masyarakat. Perkebunan kelapa sawit yang dikelola masyarakat telah menyediakan 2,3 juta lapangan pekerjaan.
Tapi GAPKI punya ‘pekerjaan rumah’ besar yakni memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM), terutama kemampuan petani kelapa sawit, dalam mengelola kebun. Dalam hal produktivitas, petani sawit Indonesia memang masih kalah dari petani sawit Malaysia. Salah satu pengetahuan petani yang perlu digenjot antara lain kemampuan memilih bibit unggul, bukan bibit jatuhan seperti selama ini, agar produktivitas pohon kelapa sawit meningkat.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Pusat Mukti Sardjono menyebut petani juga perlu memperbaiki tata kelola kebun (good agricultural practices) sebab sawit sangat repsonsif terhadap input, dalam hal ini pupuk yang tepat.
Pendampingan dan peningkatan kesejahteraan petani sudah dilakukan GAPKI, termasuk membina petani plasma dan petani swadaya agar dapat meningkatkan kemampuan berkebun. Kebun-kebun plasma di bawah GAPKI juga dibina agar bisa segera mendapat sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai bukti bahwa petani juga bisa mendapatkan sertifikat sustainable.
Biodiesel
Kelapa sawit merupakan sumber minyak nabati yang paling produktif untuk menjadi bahan baku biodiesel. Satu hektare tanaman kelapa sawit mampu menghasilkan 3,5 ton minyak nabati. Ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman paling produktif kedua setelah kelapa sawit, yaitu kanola yang setiap satu hektare lahan hanya mampu menghasilkan 0,8 ton minyak nabati.
Dari kelapa sawit dihasilkan dua jenis turunan energi terbarukan (renewable energy), yakni biofuel generasi pertama (first generation biofuel) berupa biodiesel, dan biofuel generasi kedua (second generation biofuel) berupa bioethanol (berbasis biomas) dan biogas (berbasis palm oil mill effluent - POME).
Pertumbuhan produksi biodiesel dunia rata-rata 14,1 persen per tahun. Sedangkan pertumbuhan produksi biodiesel negara-negara Asia terbilang pesat, rata-rata 25 persen per tahun, dan Indonesia yang relatif paling pesat dibandingkan dengan negara lainnya.
Dalam laporan GAPKI, produksi biodiesel Indonesia baru mencapai 44 ribu kiloliter pada 2006. Namun 10 tahun kemudian, tahun 2016, produksi biodiesel Indonesia telah mencapai 2,45 juta kiloliter.
Keberhasilan mendorong pemakaian biodiesel di Indonesia sama artinya dengan menghemat devisa sebesar US$ 831 juta atau sekitar Rp 11,7 triliun per tahun (dengan meningkatkan pemanfaatan biodiesel untuk kebutuhan dalam negeri sebesar 1,05 juta kiloliter). Dalam jangka panjang, ketergantungan Indonesia pada energi fosil semakin berkurang. Sementara itu konsumsi biofuel dunia diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada 2020 dengan Uni Eropa sebagai pengimpor utama.
Untuk meningkatkan konsumsi minyak kelapa sawit domestik, implementasi biodiesel pemerintah Indonesia pada September 2018 sudah mencapai tahap B20. B20 adalah istilah yang mengacu pada campuran bahan bakar dengan kandungan 20 persen minyak nabati dan 80 persen minyak bumi di dalam campuran biodiesel. B30 ditargetkan mulai efektif implementasinya di seluruh sektor pada 2020, dan penerapannya akan dipercepat pada 2019.
Saat ini banyak negara sudah menerapkan mandat biodiesel, antara lain Argentina (B10), Brasil (B2), Uni Eropa (B7), Norwegia (B3,5), Australia (B2), India (B5), Malaysia (B10), Filipina (B2), Korea Selatan (B2-B3), Afrika Selatan (B5), Kosta Rika (B20), dan Indonesia (B20).
Kebijakan biofuel Uni Eropa telah mendorong peningkatan konsumsi dan permintaan minyak kelapa sawit secara global. Berdasarkan data dari US Department of Agriculture, volume impor minyak kelapa sawit Uni Eropa meningkat dari 2,9 juta ton menjadi 6,5 juta ton selama periode 2000-2017. Khususnya setelah Arahan Energi Terbarukan 2009 diberlakukan, impor minyak kelapa sawit UE tumbuh sebesar 21% dari 2010 hingga 2017.
Namun ada potensi risiko yang mesti dihitung dari pertumbuhan permintaan biofuel ini. Kebijakan biofuel berbagai negara saat ini, apabila disatukan, diperkirakan akan meningkatkan permintaan langsung terhadap minyak kelapa sawit sebesar 67 juta ton (dalam skenario tinggi) dan dengan demikian meningkatkan tekanan terhadap lahan. Laporan ‘Driving Deforestation’ memperkirakan bahwa kenaikan permintaan ini akan mendorong deforestasi tambahan dalam skenario tinggi sebesar 4,5 juta hektare, termasuk pengeringan dan deforestasi lahan gambut seluas 2,9 juta hektare.