OJK Ungkap Penyebab Kredit Bermasalah Pinjol Fintech Lending Melonjak

Lenny Septiani
21 Maret 2023, 18:19
Ilustrasi pinjol atau fintech lending.
Pexels
Ilustrasi pinjol atau fintech lending.

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK memantau 25 startup pinjaman online (pinjol) atau fintech lending karena kredit bermasalah. Kredit bermasalah itu tercermin dari tingkat wanprestasi pengembalian atau keterlambatan pembayaran lebih dari 90 hari (TWP90) perusahaan di atas 5%.

Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan penyebab NPL fintech lending melonjak disebabkan oleh asuransi kredit dan pandemi.

Kuseryansyah mengatakan coverage dari asuransi kredit merupakan sebuah tantangan yang cukup besar di industri fintech lending. Asuransi kredit ini harus semakin kuat untuk mendukung industri fintech lending yang semakin agresif.

Selain itu, 25 fintech lending bermasalah tersebut mungkin penyebab dari dampak pandemi covid-19. “Beberapa platform sedang slow disbursement, terutama platform yang terdampak pandemi,” katanya dalam acara Media Luncheon AdaKami - Kontribusi Strategis P2P Lending untuk Pertumbuhan Ekonomi yang Lebih Inklusif di Jakarta, Selasa (21/3).

Salah satu fintech P2P lending bermasalah yakni TaniFund, dengan TWP sebesar 63,93%. Para petani disebut memiliki kendala bayar sebab komponen biaya yang tiba-tiba meningkat.

Komponen biaya meningkat seperti harga bahan baku, pakan ternak. “Sehingga mereka mau tidak mau harus beli, tapi harganya tinggi,” ujarnya.

Kondisi ini menyebabkan space margin petani berkurang, yang berakibat petani kesulitan untuk membayar.

Ia menyatakan bahwa permasalahan sulit bayar sektor pertanian tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi terjadi secara globaL. Di Indonesia, “sektor yang paling sensitif adalah pertanian.”

Selain permasalahan kenaikan biaya, para petani juga menggunakan dana untuk hal konsumtif. Kuseryansyah mengatakan fintech P2P lending memiliki kredit skoring yang membaca semua variabel dari calon peminjam yang sudah mengantisipasi hal tersebut.

Fintech pun harus melihat behavior minus atau sisi konsumtif peminjam yang dinilai memiliki potensi resiko tinggi. “Untuk melihat behavior peminjam dilihat dari sosial media,” katanya.

Jumlah startup pinjaman online yang dipantau oleh OJK tersebut bertambah dibandingkan akhir tahun lalu 22 perusahaan. “Jumlah perusahaan peer to peer lending dengan TWP90 di atas 5% ada 25,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono akhir bulan lalu.

OJK akan memberikan surat pembinaan kepada 25 startup fintech lending atau pinjaman online tersebut. Surat ini meminta mereka menyampaikan action plan perbaikan pendanaan kredit macet.

OJK bakal memantau pelaksanaan action plan tersebut guna memastikan kredit bermasalah atau TWP90 turun. Jika kondisi kredit bermasalah justru melonjak, maka OJK akan mengambil tindakan pengawasan lanjutan.

OJK atau Otoritas Jasa Keuangan memantau 25 startup pinjaman online (pinjol) atau fintech lending karena kredit bermasalah. Kredit bermasalah itu tercermin dari tingkat wanprestasi pengembalian atau keterlambatan pembayaran lebih dari 90 hari (TWP90) perusahaan di atas 5%.

Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan penyebab NPL fintech lending melonjak bisa disebabkan oleh asuransi kredit dan pandemi.

Kuseryansyah mengatakan coverage dari asuransi kredit merupakan sebuah tantangan yang cukup besar di industri fintech lending. Di mana asuransi kredit ini harus semakin kuat untuk mendukung industri fintech lending yang semakin agresif.

Menurutnya, 25 fintech lending bermasalah tersebut mungkin penyebab dari dampak pandemi covid-19. “Beberapa platform sedang slow disbursement, terutama platform yang terdampak pandemi,” katanya dalam acara Media Luncheon AdaKami - Kontribusi Strategis P2P Lending untuk Pertumbuhan Ekonomi yang Lebih Inklusif di Jakarta, Selasa (21/3).

Salah satu fintech P2P lending bermasalah yakni TaniFund, dengan TWP sebesar 63,93%. Para petani disebut memiliki kendala bayar sebab komponen cost yang tiba-tiba meningkat.

Kuseryansyah mengatakan beberapa dari supply chain pertanian memang kesulitan untuk membayar kewajibannya karena komponen biaya petani bertambah. Misalnya harga bahan baku, pakan ternak, dan lainnya naik cukup signifikan.

“Sehingga mereka mau tidak mau harus beli, tapi harganya tinggi,” ujarnya. Menyebabkan space margin petani berkurang, yang berakibat petani kesulitan untuk membayar.

Ia menyatakan bahwa permasalahan sulit bayar sektor pertanian tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi secara globaL. Di Indonesia, “sektor yang paling sensitif adalah pertanian.”

Menurutnya, hal ini tidak hanya terjadi pada P2P lending tapi juga kepada bank dan Multi Finance.

Selain permasalahan faktor harga pangan dan iklim, dikabarkan bahwa para petani juga disebut menggunakan dana untuk hal konsumtif.

Kuseryansyah mengatakan hal tersebut mungkin terjadi. Namun, fintech P2P lending memiliki kredit skoring yang membaca semua variabel dari calon peminjam yang sudah mengantisipasi hal tersebut.

Fintech pun harus melihat behavior minus atau sisi konsumtif peminjam yang dinilai memiliki potensi resiko tinggi. “Untuk melihat behavior peminjam dilihat dari sosial media,” katanya.

“Jadi kami ada skoring menggunakan data sosial media dan data lainnya yang merupakan additional, yang biasanya tidak digunakan dalam analisa kredit di perbankan,” ujar Kuseryansyah.

Jumlah startup pinjaman online yang dipantau oleh OJK tersebut bertambah dibandingkan akhir tahun lalu 22 perusahaan.

“Jumlah perusahaan peer to peer lending dengan TWP90 di atas 5% ada 25,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono akhir bulan lalu.

OJK akan memberikan surat pembinaan kepada 25 startup fintech lending atau pinjaman online tersebut. Surat ini meminta mereka menyampaikan action plan perbaikan pendanaan kredit macet. 

OJK bakal memantau pelaksanaan action plan tersebut guna memastikan kredit bermasalah atau TWP90 turun.

Jika kondisi kredit bermasalah justru melonjak, maka OJK akan melakukan tindakan pengawasan lanjutan. 

Meski begitu, kondisi industri pinjaman online atau fintech lending di Indonesia terpantau aman pada Januari. Rinciannya sebagai berikut:

  • Laba bersih Rp 50,48 miliar atau pertama kali sejak berdiri
  • Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) 89,16% atau lebih efisien dibandingkan Desember 2022 97,78% maupun Januari 2022 107,96%
  • Beban operasional (biaya ketenagakerjaan, pemasaran dan periklanan, beban umum dan administrasi, biaya pengembangan dan pemeliharaan IT) naik 56,79% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 890,49 miliar
  • Total pendapatan operasional (atas pengembalian pinjaman, pemberian pinjaman, dan denda) naik 81,79% yoy menjadi Rp 998,79 miliar
  • Outstanding penyaluran pembiayaan naik 63,47% yoy menjadi Rp 51,03 triliun
  • TWP90 turun menjadi 2,75%

 

Reporter: Lenny Septiani
Editor: Yuliawati
News Alert

Dapatkan informasi terkini dan terpercaya seputar ekonomi, bisnis, data, politik, dan lain-lain, langsung lewat email Anda.

Dengan mendaftar, Anda menyetujui Kebijakan Privasi kami. Anda bisa berhenti berlangganan (Unsubscribe) newsletter kapan saja, melalui halaman kontak kami.
Advertisement

Artikel Terkait