Menimbang Potensi Pembebasan Pajak Mobil untuk Bantu Pemulihan Ekonomi
- Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan alasan menyetujui pemberian insentif PPnBM nol persen untuk mobil baru kategori 1.500 cc.
- Pemberian insentif PPnBM mobil baru belum tentu akan meningkatkan penjualan kendaraan.
- Pemerintah disarankan menyasar kelas menengah atas yang menjadi konsumen kendaraan di atas 1.500 cc.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya memberikan lampu hijau relaksasi pajak untuk pembelian mobil baru selama sembilan bulan mulai Maret 2021. Kebijakan yang digodok sejak tahun lalu menuai pro dan kontra terkait dampaknya terhadap pemulihan ekonomi di tengah pandemi corona.
Sri Mulyani menjelaskan alasan menetapkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi nol persen untuk mobil baru karena industri otomotif merupakan sektor yang penting. "Tidak hanya dari sisi pekerjaan tapi juga ekspor dan yang lain -lain," kata Sri Mulyani dalam wawancara khusus kepada Katadata.co.id, Minggu (14/2).
Sri menilai menggerakkan industri otomotif ini penting sehingga permintaan masyarakat perlu didorong dengan berbagai kebijakan. Sehingga pemerintah pun menetapkan syarat pembebasan PPnBm hanya untuk mobil yang memiliki konten lokal tinggi.
Pemerintah hanya memberikan diskon pada mobil berkapasitas mesin di bawah 1.500 cc dengan kategori sedan dan mobil lain berpenggerak dua roda belakang 4x2 alias (2WD). Mobil di segmen ini memiliki local purchase alis Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) di atas 70 %.
Relaksasi PPnBM dalam beberapa tahap, pertama pemberian nol persen selama Maret-Mei. Selanjutnya, diikuti insentif PPnBM sebesar 50 % pada Juni-Agustus, dan 25 % periode September-November 2021.
Besaran insentif tersebut akan dievaluasi tiap tiga bulan. Instrumen kebijakan akan menggunakan PPnBM DTP (ditanggung pemerintah) melalui revisi Peraturan Menteri Keuangan yang ditargetkan berlaku pada 1 Maret 2021.
Sri Mulyani mengatakan, pada awalnya ia menyarankan agar pemberian relaksasi pajak mobil baru bisa dipikirkan secara hati-hati. "Karena kami lihat antara mobil baru dengan mobil bekas ini ada," ujar dia.
Namun, belakangan dia berubah pikiran dengan menilai relaksasi per sektornya perlu diberikan agar perekonomian Indonesia tidak terpuruk terlalu dalam. Salah satu sektor yang berusaha digenjot di antaranya pariwisata dengan menjadikan hotel sebagai tempat untuk isolasi mandiri.
"Kami coba satu demi satu, kami urai, sehingga bisa mengangkat dari sisi permintaan dan penawaran agar industri bisa bergerak lagi," kata Sri Mulyani.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, rata-rata utilisasi industri selama pandemi pada periode April sampai Desember 2020 mengalami penurunan 15% menjadi 61,1%. Utilisasi industri yang mengalami penurunan di bawah 50% di antaranya industri mesin beserta perlengkapannya yakni dari 80,5% menjadi 40% dan industri kendaraan bermotor dari 80,8% menjadi 40%.
Terpuruknya industri otomotif juga terlihat dari data penjualan sepanjang 2020. Penjualan motor turun 43,57%, penjualan mobil anjlok 48,35%, dan penjualan suku cadang jatuh 23%.
Berdasarkan simulasi perhitungan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan, dampak PPnBM ini berpotensi menurunkan penerimaan pajak hingga Rp 2,3 triliun pada tahun ini. Namun, meski kehilangan pendapatan pemerintah yakin akan mendapat dampak positif seperti naiknya permintaan masyarakat yang akan diikuti bergeraknya produksi industri otomotif.
Proyeksinya juga akan berdampak pada industri pendukung sektor otomotif. "Selain itu masih banyak dampak berganda lainnya," ujar Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono.
Bila industri otomotif dan pendukungnya bergerak, harapannya pelaku usaha akan membayar pajak. Sehingga, potensi turunnya penerimaan pajak akibat insentif PPnBM DTP akan terkompensasi dengan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh).
PPnBm Nol Persen Masuk dalam Anggaran PEN
Pemberian insentif PPnBM nol persen ini akan masuk dalam anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021. Anggaran PEN tahun ini menjadi Rp 688,33 triliun. Angka ini melonjak dari alokasi awal dalam APBN 2021 sebesar Rp 372,2 triliun, bahkan lebih tinggi dari realisasi PEN 2020 Rp 579,78 triliun.
Meski belum diperinci, namun pos insentif usaha dan pajak dengan alokasi Rp 53,86 triliun untuk sembilan program. Kesembilan program tersebut yakni Pajak Penghasilan (PPh) 21 DTP, PPh Final DTP UKM, PPnBm DTP Kendaraan Bermotor, insentif bea masuk, dan pembebasan PPh 22 Impor.
Kemudian, pengembalian pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pengurangan angsuran PPh pasal 25, penurunan tarif PPh Badan, PPN tidak dipungut di Kawasan Berikat (KB) atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
Pengamat Pajak Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan dengan alokasi insentif PPnBM dari program PEN, membuat pemberian bantuan ke masyarakat terdampak Covid-19 akan berkurang. "Jadi tidak akan efektif untuk mendorong pemulihan ekonomi," ujar Nailul.
Selain itu, kebijakan pemberian pajak nol persen membuat penerimaan negara berkurang. "Shortfall pajak tahun ini pastinya akan semakin melebar," kata Nailul.
Padahal, kekurangan setoran pajak pada 2020 mencapai Rp 128,8 triliun. Adapun penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.070 triliun pada tahun lalu, atau 89,3% dari target Rp 1.198,8 triliun.
Kelas Menengah Belum Tentu Akan Belanja Mobil
Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalan menyatakan program insentif pajak 0% untuk mobil baru tak akan signifikan bila hanya menyasar kelas menengah bawah. Sehingga dia menyarankan insentif diberikan kepada para konsumen kendaraan di atas 1.500 cc.
Piter menilai insentif PPnBM tidak akan menyebabkan masyarakat kelas menengah ke bawah meningkatkan daya belinya meski harga mobil turun. Kelompok ini yang terkena dampak pandemi paling besar seperti terkena pemutusan hubungan kerja, hingga kehilangan pendapatan baik pekerja formal maupun informal.
"Akan lebih baik kalau insentif mobil baru disasar kepada masyarakat menengah ke atas," katanya.
Kelompok masyarakat menengah atas memberikan kontribusi yang paling besar terhadap konsumsi nasional yakni sekitar 80%. Dia menyebutkan bahwa jika tingkat konsumsi golongan tersebut bisa dikembalikan, pemulihan permintaan akan sangat besar.
Namun, dia menilai insentif yang diberikan tidak harus sama persis seperti untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. "Mungkin bisa diberikan potongan 50% saja," ujar Piter.
Jika hal tersebut terwujud, kedua masyarakat dari golongan yang berbeda bisa sama-sama memicu akselerasi pertumbuhan konsumsi, khususnya di sektor otomotif. Apalagi, sektor tersebut mengalami penurunan yang paling tinggi akibat pandemi.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira mempertanyakan insentif pajak nol persen dapat meningkatkan penjualan mobil. Masa pandemi membuat mobilitas penduduk masih rendah, membuat prioritas belanja masyarakat bukan beli mobil baru.
Data Google Mobility per 9 Februari 2020 memperlihatkan bahwa pergerakan masyarakat ke tempat perbelanjaan dan rekreasi turun 21% dan ke perkantoran turun 32%.
Jika prediksi Bappenas mengenai virus corona bisa terkendali pada September 2021, maka prioritas belanja masyarakat saat ini masih seputar kesehatan, makanan, minuman, dan kebutuhan primer lain. "Sementara kendaraan bermotor bukan prioritas utama dan masih dianggap kebutuhan tersier, bahkan di kelas menengah," kata dia.
Selain itu, penurunan harga mobil belum tentu akan mendorong kenaikan pinjaman kendaraan bermotor. Bank dan leasing kondisinya sedang menghadapi risiko kredit macet sehingga lebih selektif memilih calon debitur. Bunga kredit kendaraan bermotor pun masih tinggi di atas 10%-15%.
"Leasing akan sangat hati-hati untuk menyalurkan pinjaman sehingga akibatnya bunga kredit maupun uang muka menjadi mahal," ujarnya.