Lapindo Berutang Rp2,2 Triliun, Kemenkeu Mulai Hitung Aset Tanah
Kementerian Keuangan masih terus menagih pengembalian atas utang anak usaha Lapindo Brantas Inc, PT Minarak Lapindo Jaya, yang nilainya mencapai Rp 2,23 triliun. Pemerintah mengantisipasi jika perusahaan melunasi utang dengan aset.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Rionald Silaban mengatakan sampai saat ini aset Lapindo tersebut masih belum tercatat sebagai aset negara di DJKN. Meski demikian, pihaknya telah meminta tim ahli untuk menghitung nilai aset tersebut.
"Untuk berjaga-jaga bahwa yang bersangkutan nanti tidak bisa membayar dan kita harus menerima tanah tersebut, kita sudah minta penilai melakukannya," kata Rio dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (26/1).
Rio mengatakan Kementerian Keuangan masih akan terus mengejar pengembalian utang Lapindo sebagai pemulihan hak negara.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya sempat menyebut terdapat mineral langka di lahan yang sudah terkubur lumpur tersebut. Namun, Rio mengatakan pihaknya nanti akan melakukan pengecekan terkait potensi tersebut.
"Kami akan melihat apakah betul tanah tersebut bernilai atau tidak, dalam hal tanah tersebut tidak bernilai, maka berapapun selisihnya itu akan kita tagihkan," kata Rio.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total utang Lapindo Brantas dan Minarak kepada pemerintah sebesar Rp 2,23 triliun hingga 31 Desember 2020. Nilai tersebut terdiri dari pokok utang sebesar Rp 773,38 miliar, bunga Rp 201 miliar, dan denda keterlambatan pengembalian Rp 1,26 triliun, serta adanya penerimaan pembayaran sebesar Rp 5 miliar.
Utang ini merupakan Dana Talangan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang dibayarkan pemerintah pada 2015. Sesuai kesepakatan, pinjaman tersebut harus dibayar pada 10 Juli 2019, namun sampai sekarang tak kunjung ada kejelasan.
Rio dalam diskusi dengan media pertengahan tahun lalu sempat mengatakan bahwa anak usaha Grup Bakrie tersebut telah surat menyurat dengan pemerintah terkait skema pelunasan utangnya. Namun, ia tidak menjelaskan mekanisme apa yang akan ditempuh terkait pelunasan tersebut.
Minarak Lapindo sempat menawarkan asetnya untuk membayar utang kepada pemerintah yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019. Aset yang ditawarkan terdapat di wilayah terdampak lumpur Lapindo. Jika nilai aset tersebut masih tak cukup untuk melunasi utang, Lapindo akan memberikan asetnya di wilayah lain.
Lapindo juga sempat mengajukan skema pertukaran utang dengan pemerintah. Perusahaan menganggap pemerintah memiliki utang sebesar US$ 138,2 juta atau sekitar Rp 1,9 triliun kepada perseroan. Klaim utang tersebut berasal dari penggantian biaya eksplorasi minyak dan gas atau cost recovery.
Namun, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas menilai klaim Lapindo tersebut tidak tepat. Lapindo belum berhasil menemukan cadangan migas sehingga belum bisa mendapatkan biaya penggantian.