Perang Rusia -Ukraina Diramal Panjang, Krisis Pangan Bayangi Indonesia
Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO memperkirakan perang bisa berlangsung bertahun-tahun. Indonesia terancam krisis pangan jika perang Rusia dan Ukraina berlangsung lebih lama hingga bertahun-tahun.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan dengan perang yang berkepanjangan maka kenaikan harga pangan bisa berlanjut dan membebani kelompok masyarakat menengah ke bawah. Apalagi, Indonesia masih bergantung pada impor bahan pangan terutama gandum dari Ukraina. Perang akan mengganggu pasokan gandum dari Ukraina ke dalam negeri.
"Skenario terburuknya bisa saja potensi terjadinya krisis pangan di dalam negeri kalau mitigasinya tidak dilakukan sedari dini dari dampak perang Rusia Ukraina ini dalam jangka panjang," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Selasa (21/6).
Selain gandum, perang juga berpeluang mengerek harga komoditas pangan lainnya yang bukan produksi andalan dari Rusia maupun Ukraina misalnya daging dan sayuran. Hal ini karena jika Rusia dan Ukraina perang, maka gangguannya bisa merembet ke negara lain karena perdagangan dunia yang saling terhubung satu sama lain.
Senada dengan Yusuf, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga memperingatkan risiko terganggunya pasokan pangan di dalam negeri. Hal ini karena kekhawatiran terhadap perang menyebabkan banyak negara melakukan proteksi terhadap sejumlah komoditas pangan strategis.
Apalagi, dalam kondisi keuangan global yang semakin ketat, likuiditas dolar AS di banyak negara juga makin menipis. Dengan likuiditas yang menipis tersebut menyebabkan kesulitan bagi negara-negara untuk mengimpor produk pangan strategis tersebut.
"Banyak negara-negara dunia kita lihat mulai mengamankan pasokan pangan dan energinya, di Cina, impornya untuk sereal meningkat. Mereka coba mengamankan pasokan khawatir kalau ada masalah, Indonesia sendiri saya pikir perlu strategi serupa," kata David dihubungi.
Selain itu, perang juga bisa menimbulkan dampak yang meluas termasuk gangguan di beberapa negara produsen energi dunia. Hal ini akan bisa mendorong harga energi bertahan tinggi sampai tahun depan. Dengan harga energi yang tinggi dan pemerintah harus mengejar defisit APBN tak lebih dari 3%, maka inflais tahun depan diramal 3%-5% atau di atas target BI di 2%-4%.
Dari sisi pasar keuangan, volatilitas diperkirakan masih akan tinggi tahun depan. Kepala Ekonom Indo Premier Luthfi Ridho menyebut dengan sanksi perang yang berlanjut maka tekanan inflasi di AS bisa saja masih bertahan lebih lama.
"Kalau inflasi AS masih tinggi, The Fed masih akan agresif pada tahun depan," kata Luthfi kepada Katadata.co.id
Kenaikan bunga The Fed yang agresif menjadi pemicu utama volatilitas di pasar keuangan domestik beberapa pekan terakhir. Keluarnya modal asing terus berlanjut terutama dari pasar obligasi pemerintah. Nilai tukar rupiah juga terus melemah dan sempat menyentuh di bawah RP 14.800 selama beberapa hari terakhir.
Berkah bagi Penerimaan Negara
Meski bisa mengerek inflasi dan memicu risiko krisis pangan, perang juga berpeluang memberi keuntungan bagi Indonesia. Kenaikan harga komoditas mengerek penerimaan negara karena Indonesia merupakan negara pengekspor komoditas.
"Tentu di satu sisi ini akan menguntungkan Indonesia yang menggantungkan ekonominya di komoditas, artinya ketika ini terjadi harga komoditas tinggi, ada potensi untuk menggaet pundi-pundi penerimaan," kata Yusuf.
Hal tersebut sudah dirasakan pada tahun ini. Kenaikan harga komoditas menjadi salah satu pemicu penerimaan negara diproyeksikan naik Rp 420 triliun dari target awal.
Apalagi, Yusuf juga menyebut ekonomi RI tahun depan diramal bisa tumbuh semakin kuat. Kemenkeu memperkirakan perekonomian RI bisa tumbuh 5,3%-5,9% pada tahun depan.
Dengan perekonomian yang semakin baik maka penerimaan perpajakan juga akan meningkat. Dengan asumsi pendapatan negara yang masih akan tinggi tahun depan, Yusuf melihat APBN masih bisa mengejar penurunan defisit di bawah 3% sekalipun ada perang.