Apakah Pelaku Pasar Acungkan Jempol untuk Jokowi-JK?

Gundy
Oleh Gundy Cahyadi
15 September 2019, 09:45
Gundy
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Kampanye akbar dimulai sejak pukul 12.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Jokowi-Ma'ruf memberikan orasi sekitar pukul 16.30-17.00 WIB. Konser Putih Bersatu ini diisi penampilan musisi dan budayawan, dengan 500 artis akan tampil dalam acara tersebut, nama tenar yang hadir antara lain Slank, Addie MS, Bimbo, Ida Royani, Glenn Fredly, Sandy Sandoro dan Yuni Shara.

Defisit transaksi berjalan masih akan terus berlanjut. Namun, perekonomian sudah bergerak ke arah yang benar. Serangkaian reformasi telah dilakukan oleh pemerintah Jokowi-JK untuk memperbaiki masalah struktural di bidang ekonomi. 

Sulit sebenarnya mengetahui bagaimana penilaian pasar keuangan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK. Terlalu banyak variabel dan faktor yang memang datang dari luar negeri.

Contohnya, pasar keuangan sangat sensitif terhadap prospek peningkatan suku bunga di Amerika Serikat (AS) dan perkembangan geopolitik di Timur Tengah yang berdampak terhadap harga minyak dunia. Dan sejak akhir tahun 2016, pedagang saham di Bursa Efek Indonesia, investor obligasi rupiah di Singapura, hingga manager hedge fund di New York sebenarnya lebih memperhatikan akun Twitter Donald Trump ketimbang data makro Indonesia.

Meski begitu, ada beberapa yang menarik dari performa pasar keuangan di era Jokowi-JK ini. Saya akan fokus melihat di pasar obligasi pemerintah Indonesia karena ini tempat yang tepat untuk melihat respons investor terhadap kebijakan pemerintah.

Pialang saham di bursa efek lebih mencermati performa perusahaan-perusahaan terbuka. Sementara pedagang mata uang biasanya lebih mengikuti tren di market dan terkadang ada yang lebih berspekulasi. Adapun, kebanyakan investor obligasi menempatkan investasi berdasarkan pandangan makroekonomi mereka.

Pemerintah di banyak negara menerbitkan obligasi untuk membantu membiayai pengeluaran. Lalu, investor meneliti kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa mempengaruhi risiko obligasi tersebut. Jika utang pemerintah terus bertambah karena adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak efektif, maka akan ada terjadinya sell-off di pasar obligasi.

Jika bank sentral terus-menerus menahan suku bunganya di level yang sama walaupun inflasi terus meningkat pesat, maka investor obligasi juga akan menjadi yang pertama keluar dari negara itu.

Menurut data Bank Indonesia, total jumlah Surat Berharga Negara (SBN – obligasi pemerintah dalam denominasi rupiah) yang bisa diperdagangkan di pasar mencapai Rp 2.440 triliun pada Januari 2009. Ini lebih dari dua kali dibandingkan jumlah pada Juli 2014 sebesar Rp 1.150 triliun, saat Jokowi memenangkan pemilu.

Di periode yang sama (antara Juli 2014-Januari 2019), jumlah SBN yang dimiliki oleh investor asing juga meningkat dari Rp 410 triliun ke Rp 910 triliun. Sebanyak 33 bulan dari total 54 bulan sepanjang periode tersebut, pasar obligasi mencatat net investor asing positif. Adanya peningkatan investor asing di pasar obligasi Indonesia mencerminkan adanya peningkatan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia.

Yang lebih menarik dicermati adalah episode global market sell-off pada 2018. Peningkatan suku bunga yang cukup agresif di AS dan adanya perang dagang antara pemerintah AS dan Tiongkok menyebabkan penurunan tajam di pasar keuangan global. Para investor memilih mengalokasikan investasinya ke cash sehingga dolar AS kembali menjadi raja di dunia. 

Tidak penting apakah seorang investor memiliki saham ataupun obligasi, dia tetap akan mengalami kerugian sewaktu terjadi tren aksi jual aset di pasar global pada 2018 lalu. Pasar keuangan Indonesia pun ikut terimbas.

Kurs rupiah terhadap dolar AS melemah sekitar 13,5 persen pada periode Januari-Oktober 2018. Ingat bahwa pertengahan 2018 juga marak adanya rumor bahwa nilai tukar rupiah bisa menembus Rp 15.000 per dolar AS. Biasanya hal-hal seperti ini sangat menakutkan investor asing.

Namun, fakta yang terjadi di tengah market sell-off ini, jumlah investasi yang keluar dari pasar obligasi SBN hanya mencapai Rp 40 triliun atau sekitar 9 persen dari total investasi yang masuk pada periode Juli 2014-Desember 2017.

Artinya hanya 1 dari 10 investor yang memilih kabur dari Indonesia pada 2018. Sedangkan, 9 investor lainnya tetap percaya pada prospek jangka panjang Indonesia dan akhirnya memilih tetap berinvestasi di sini. Tanpa adanya kepercayaan ini, tentunya investasi yang akan keluar dari pasar SBN akan lebih dari Rp 40 triliun pada tahun lalu.

Pergerakan Saham Pascaputusan MK
(ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Lampu Hijau Lembaga Rating

Kepercayaan investor di pasar keuangan sejatinya berakar dari perbaikan peringkat utang oleh beberapa lembaga pemeringkat dalam dua tahun terakhir. Standard & Poor’s (S&P) menaikkan peringkat kredit Indonesia ke investment-grade pada Mei 2017.

Sedangkan, Fitch dan Moody’s juga meningkatkan rating Indonesia ke satu level di atas batas minimum investment-grade pada Desember 2017 dan April 2018, yang intinya memperkuat status investment-grade bagi Indonesia.

Perbaikan peringkat utang S&P di tahun 2017 lalu  merupakan momen yang penting bagi Indonesia. Sebab, ini adalah pertama kalinya sejak krisis finansial 1997-98, Indonesia kembali memperoleh peringkat investment-grade dari tiga perusahaan credit rating terbesar dunia.

Setidaknya ada sejumlah alasan yang sama dari ketiga lembaga rating tersebut dalam memutuskan kenaikan peringkat kredit Indonesia. Pertama, pemerintahan Jokowi-JK dinilai tetap berkomitmen menjaga kestabilan fiskal.

Defisit anggaran belanja pemerintah tetap dijaga di bawah 3 persen PDB. Oleh karenanya, utang negara diperkirakan tetap di bawah 30% dari PDB. Ini adalah salah satu yang terendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang mempunyai investment-grade.

Kedua, lembaga rating menyambut baik kebijakan-kebijakan reformasi ekonomi yang telah diluncurkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Misalnya, keputusan mengalihkan anggaran subsidi energi untuk pembangunan infrastruktur dinilai sebagai langkah tepat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sebab, pembangunan infrastruktur memang tidak semestinya membawa manfaat dalam waktu cepat.

Kebijakan lain yang dinilai positif adalah koordinasi efektif antara pemerintahan dan Bank Indonesia (BI) dalam meningkatkan ketahanan perekonomian Indonesia guna menghadapi guncangan eksternal. 

Halaman:
Gundy
Gundy Cahyadi
Panel Ahli Katadata Insight Center
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...