Jokowi Prioritaskan Pembangunan Industri Padat Karya
KATADATA - Pemerintah tengah berupaya mengembangkan banyak kawasan industri di berbagai daerah untuk menghadapi persaingan di pasar global. Agar lebih terarah, pemerintah fokus mengembangkan kawasan industri padat karya yang bisa membuka kesempatan banyak lapangan kerja.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, prioritas pembangunan industri di Indonesia adalah yang berpihak pada rakyat banyak. Contohnya, industri garmen dan alas kaki. “Industri padat karya (jadi prioritas), tidak ada yang lain,” ujarnya saat acara dialog publik yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta, Rabu (30/3).
Pemerintah memprioritaskan industri padat karya karena sebagian besar penduduk Indonesia atau sekitar 66 persen dari jumlah penduduk hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dengan adanya industri padat karya, dapat menyerap angkatan kerja yang cuma berpendidikan SD dan SMP tersebut. Alhasil, pemerintah dapat menekan angka pengangguran.
Jokowi menyebut beberapa industri kecil yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti industri kerajinan tangan, industri rotan, dan industri mebel. “Itu juga menyerap tenaga yang sangat banyak. Konsentrasinya di situ, yang padat industri yang padat karya,” katanya.
(Baca: Indonesia Lawan Malaysia dan Amerika Berebut Investasi Cina)
Meskipun industri padat karya menjadi prioritas pembangunan, Jokowi tidak begitu saja meninggalkan industri lainnya. Pemerintah akan terus berusaha mengembangkan industri lainnya. Namun, dalam jangka waktu pendek selama lima tahun ke depan, industri padat karya masih menjadi prioitas pemerintah.
Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Rosan P. Roeslani sempat menyinggung arah kebijakan pembangunan industri di Indonesia. Ia menilai, pemerintah saat ini terlihat belum menentukan industri yang akan menjadi prioritas pembangunan. Padahal, menentukan prioritas tersebut penting untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan global. “Dalam pembangunan industrialisasi kita perlu ditentukan prioritas. Industri mana yang mau jadi prioritas,” katanya dalam kesempatan yang sama.
(Baca: Produsen Sepatu Taiwan Berencana Tingkatkan Kapasitas Pabrik)
Di sisi lain, Jokowi menegaskan, Indonesia tak bisa menghindari persaingan ekonomi dengan negara lain. Untuk meningkatkan daya saing, pemerintah fokus kepada dua poin pembenahan yaitu deregulasi dan pembangunan infrastruktur. Sebab, banyaknya peraturan selama ini merupakan salah satu hambatan dalam menghadapi persaingan ekonomi global.
Menurutnya, ada sekitar 42 ribu peraturan, baik berbentuk peraturan presiden, peraturan menteri, dan lainnya, yang menghambat aktivitas usaha di Indonesia. Karena itulah, Jokowi menginstruksikan penghapusan atau penyederhanaan peraturan.
Di sisi lain, jika regulasi masih menyulitkan maka pembangunan infrastruktur akan semakin terhambat. Dalam pemerintahannya, Jokowi akan memberikan kemudahan kepada pihak-pihak yang ingin membangun infrastruktur. “Kita utamakan swasta yang membangun, jika tidak bisa serahkan ke BUMN, jika tidak bisa juga, kita bangun menggunakan APBN,” ujar Jokowi.
(Baca: Dorong Industri, Menteri Darmin Fokus pada Dua Bidang Usaha)
Pembangunan infrastruktur penting dalam menghadapi persaingan global. Sebagai contoh, Jokowi tengah menggalakkan pembangunan kawasan industri. Namun, pembangunan kawasan industri ini juga harus diikuti dengan pembangunan infrastruktur sehingga membuka akses ke lokasi kawasan itu. Jika tidak, kawasan tersebut tidak akan berkembang dan tak ada investasi yang mau masuk ke Indonesia. Pembangunan infrastruktur juga dapat menekan biaya logistik dan biaya transportasi.
Sementara itu, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Muliaman D. Hadad menyatakan, permasalahan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia juga harus mendapat perhatian dari pemerintah. Sebab, pertumbuhan populasi usia kerja cenderung menurun. Selain itu, kualitas tenaga kerja harus ditingkatkan karena saat ini persaingan telah masuk ke era digital. “Pertumbuhan teknologi tidak bisa dihindari. Tenaga kerja memerlukan keterampilan baru,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini.