Pemerintah Pastikan 4 Smelter Baru Terbangun Tahun Ini
Pemerintah terus mendorong hilirisasi terutama di sektor pertambangan mineral, dengan mewajibkan perusahaan tambang membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Tahun ini pemerintah memastikan ada empat tambahan proyek pembangunan smelter baru.
Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan aat ini pembangunan empat smelter tersebut sudah berjalan dan memasuki tahap konstruksi. Bahkan salah satunya akan segera masuk tahap uji coba operasi.
"Semuanya sedang dalam proses pembangunan. Yang di Ketapang sudah mulai produksi (soft opening)," ujarnya kepada Katadata, Rabu (15/6). (Baca: Hanya 30 Persen Perusahaan Tambang yang Bangun Smelter)
Sebenarnya total pembangunan smelter hingga tahun ini mencapai 27 unit. Smelter tersebut terdiri dari delapan smelter nikel, dua smelter baoksit, satu smelter mangan, 11 smelter zircon, satu smelter timbal dan seng, dua smelter kaolin, serta dua smelter zeolit.
Dari 27 smelter tersebut, sudah ada 23 unit yang pembangunannya telah dilakukan sebelumnya. Jadi tinggal empat smelter yang dibangun tahun ini. Pembangunan smelter ini merupakan permintaan pemerintah bagi perusahaan tambang mineral di dalam negeri. Tujuannya agar mineral sumber daya alam Indonesia tidak lagi dijual Indonesia dalam bentuk mentah, tapi sudah diolah terlebih dahulu. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif untuk Investasi Smelter)
Di sisi lain, ada juga rencana pembangunan smelter yang tidak bisa berjalan sesuai rencana. Salah satunya smelter milik PT Freeport Indonesia. Awalnya pemerintah menargetkan pembangunan smelter tersebut akan dimulai pada pertengahan tahun ini dan akan rampung pengerjaannya pada 2017.
“Kemungkinan meleset itu," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono di Kantornya, Jakarta, akhir pekan lalu. (Baca: Freeport Minta Kepastian Kontrak, Pembangunan Smelter Molor)
Proses peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur, kemungkinan baru akan dilakukan tahun depan. Dengan mundurnya jadwal groundbreaking otomatis jadwal selesainya proyek juga akan mundur.
Menurut Bambang, banyak alasan yang membuat proyek senilai US$ 2,3 miliar tersebut tertunda pembangunannya. Salah satu penyebab utamanya adalah, sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai perpanjangan kontrak, seperti yang diminta oleh perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini.
Kontrak pertambangan Freeport Indonesia di tanah Papua akan berakhir 2021. Proses perpanjangan kontrak belum bisa dilakukan karena masih terganjal aturan yang belum bisa dilaksanakan perusahaan. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, proses renegosiasi perpanjangan kontrak pertambangan dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir, yakni pada 2019. (Baca: Kementerian Audit Smelter Timah, Empat Unit Mencurigakan)