Bahas Ekspor Freeport, Luhut Adu Mulut dengan DPR
Kebijakan rekomendasi ekspor konsentrat yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk Freport Indonesia menjadi pembahasan alot di ruang Komisi VII DPR. Bahkan, Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi Luhut Binsar Pandjaitan terlibat adu mulut dengan sejumlah anggota Komisi.
Adu mulut ini dimulai saat salah satu anggota Komisi VII DPR, Inas Nasrullah Zubir mempertanyakan rekomendasi ekspor konsentrat kepada Freeport yang terbit saat Arcandra Tahar menjabat Menteri Energi. Aturan tersebut patut dipertanyakan lantaran Arcandra pada waktu itu diklaim memiliki status dwi kewarganegaraan. (Baca: Beri Izin Ekspor Freeport, Pemerintah Digugat).
Tidak hanya itu, Inaz juga meyinggung pemberi rekomendasi. Apalagi, surat rekomendasi itu ditandatangani bukan oleh Menteri Energi melainkan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono.
Tapi menurut Luhut, kebijakan itu bukanlah dari Arcandra. Keluarnya rekomendasi ekspor Freeport mengacu pada peraturan yang dibuat sebelum Arcandra Tahar menjabat menteri.
Aturan tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kemudian ada juga Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 tahun 2014 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.
Selain itu, ada juga Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2014 tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan pemurnian. Di samping itu, ada Peraturan Menteri Energi Nomor 5 Tahun 2016 tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan dan pemurnian. (Baca: Luhut: Rekomendasi Izin Ekspor Freeport dari Sudirman Said).
Kementerian Energi pun ada pertimbangan lain untuk memberikan rekomendasi ekspor, yakni terkait aspek manfaat kontribusi Freeport terhadap ekonomi lokal Papua dan Mimika secara signifikan. Keberlanjutan kegiatan operasional Freeport yang diatur dalam Kontrak Karya turut menjadi perhatian pemerintah proses pemberian rekomendasi.
Regulasi dan pertimbangan itulah yang menjadi dasar keluarnya rekomendasi ekspor. “Menteri waktu itu mengatakan kalau sudah memenuhi syarat ya silahkan. Tidak ada yang salah, birokrasi seperti itu,” kata dia.
Tapi, menurut Inas seharusnya Arcandra Tahar meneliti terlebih dulu dan mengecek kebijakan tersebut dengan aturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 4 Tahun 2009. Apalagi di pasal 170 pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak aturan tersebut. “Kalau bertentangan dengan UU, itu tidak dilaksanakan,” ujar dia.
Luhut pun menjawab secara tanggung jawab itu ada Direktur Jenderal Minerba juga, walaupun penanggung jawab akhir itu menteri. “Arcandra waktu itu tidak pernah mengatakan tidak tanggung jawab. Kalau kita bilang dia tidak tanggung jawab, saya tidak setuju,” ujar dia.
Menurut Luhut kebijakan tersebut tidak perlu mencari siapa yang salah. Ia mengajak Komisi VII untuk memperbaiki kebijakan kedepan. (Baca: Menteri Arcandra Dicopot, Izin Ekspor Freeport Tetap Sah)
Namun, Inas tetap mengusulkan agar Komisi VII mengusut pemberian rekomendasi ekspor ini. Mekanismenya bisa melalui Rapat Dengar Pendapat atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan yang berkompeten. “Apakah kita diam saja tentang rekomendasi ini ditandatangani atas nama menteri bukan Warga Negara Indonesia,” kata dia.