Dinilai Cuma Untungkan Freeport, Aturan Ekspor Mineral Akan Digugat

Anggita Rezki Amelia
18 Januari 2017, 18:42
Freeport Indonesia
Arief Kamaludin | Katadata

Sejumlah lembaga masyarakat yang berhimpun dalam Koalisi Masyarakat Sipil, berencana menggugat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 ke Mahkamah Agung (MA) pada pekan depan. Sebab, setidaknya ada sembilan pelanggaran dalam aturan anyar yang dirilis Menteri ESDM Ignasius Jonan tersebut. Apalagi, aturan baru itu dinilai hanya menguntungkan PT Freeport Indonesia.

Koordinator Koalisasi Masyarakat Sipil Ahmad Redi mengatakan, pemerintah masih memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah melalui aturan tersebut. Bedanya, saat ini ekspor hanya bisa dilakukan jika perusahaan tambang mengubah status  kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP)/IUPK.

(Baca: Jokowi Teken Aturan Izin Ekspor Mineral dengan Tiga Syarat)

Padahal, menurut Redi yang merupakan pengajar di Universitas Tarumanegara ini, izin ekspor mineral mentah bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Kedua, aturan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), khususnya Pasal 102, 103, 170, dan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VII/2014. Intinya, aturan itu memuat kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Redi mengatakan, peraturan Jonan tersebut hanya menguntungkan Freeport Indonesia. Alasannya, perusahaan asal Amerika Serikat itu hingga kini belum membangun fasilitas pemurnian (smelter) sesuai amanat UU. "Perubahan KK ke IUPK itu melanggengkan Freeport," kata dia dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta, Rabu (18/1).

Ketiga, relaksasi ekspor memicu eksploitasi sumber minerba secara besar-besaran dan tidak bertanggung jawab. Koalisi mencatat, sejak 2011 hingga 2016 terdapat penambahan IUP dari 9.662 IUP hingga 10.066  IUP. Dari jumlah tersebut,  3.682 IUP masih  berstatus non-clear and clean (tidak ada dasar hukum).

(Baca: Janjikan 2 Komitmen, Freeport Ajukan Perpanjangan Izin Ekspor)

Selain itu, sekitar  24 persen perusahaan pemegang IUP selama 2010-2012 tidak memiliki nomor pokok wajib pajak, 75 persen perusahaan pemegang IUP tidak membayar dana jaminan reklamasi dan pasca-tambang. Bahkan, perusahaan menunggak penerimaan negara sebesar Rp 23 triliun pada 2016.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...