Menteri Susi Wajibkan Pengusaha Jamin Asuransi Awak Kapal Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2017 tentang Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Salah satu isinya, pengusaha harus jamin asuransi ABK (Anak Buah Kapal).
“Peraturan tersebut akan menciptakan mekanisme sertifikasi untuk memastikan industri perijanan di Indonesia bebas dari pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia),” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di kantornya, Selasa (24/1).
Susi mengatakan dengan peraturan baru ini setiap kapal yang mengajukan ijin tangkap ikan harus memenuhi ketentuan perlindungan ABK. "Yang legalnya mereka harus mengasuransikan ABK-nya dan sesuai memenuhi hak-haknya sebagai pekerja," katanya.
(Baca juga: Menteri Susi Akan Bagikan 2.090 Kapal Nelayan Tahun Ini)
Selain itu, aturan baru tersebut mewajibkan semua perusahaan di sektor perikanan untuk menyerahkan laporan detail untuk memastikan kesejahteraan ABK dan awak kapal perikanan lainnya.
Peraturan baru diluncurkan berdasarkan laporan hasil penelitian International Organization of Migration (IOM) tentang Perdagangan Orang di Sektor Perikanan Indonesia yang menyasar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di sektor perikanan.
“Laporan ini menemukan bahwa ada tumpang tindih perudangan yang mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal,” katanya.
Penangkapan Kapal Illegal Fishing Periode 17 Agustus-8 Desember 2016
Susi mengatakan setidaknya ada lima temuan dalam laporan mengenai perdagangan orang, pekerja paksa, dan kejahatan perikanan ini. Di antaranya terkait penipuan yang sistematis dan terstuktur dalam praktek rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di Asia Tenggara.
Lalu mengenai kasus eksploitasi tenaga kerja, yakni pemaksaan terhadap ABK untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari. Kemudian berbagai tindakan melawan hukum seperti mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transhipment ilegal, serta pemalsuan dokumen dan logbook.
(Baca juga: Susi Siap Tenggelamkan 92 Kapal Pencuri Ikan Bulan Depan)
Selain itu laporan IOM tersebut memuat berbagai pernyataan dari saksi mata mengenai kekerasan dan pmbunuhan di laut hingga pembuangan jasad secara ilegal.
Selain itu, Susi juga mengatakan bahwa ABK Indonesia yang bekerja di kapal milik negara lain di luar negeri diperkirakan mencapai 250 ribu orang. Namun karena tidak ada data resmi tentang ABK asal Indonesia yang bekerja di luar negeri maka kenyataannya bisa jadi lebih banyak.
“Angka 250 ribu ABK itu hanya perkiraan saja dan mereka diduga menjadi korban perdagangan manusia. Angka sebenarnya itu adalah ada 700 ABK di dunia yang menjadi korban praktek ilegal tersebut. Kita kuatir sebagian itu adalah dari Indonesia,” tuturnya.
Kepala Misi Organisasi Internasional Migrasi (IOM) Indonesia Mark Getchell menyatakan apresiasinya atas upaya pemerintah untuk mengatasi berbagai masalah perdagangan orang dan eksploitasi tenaga kerja.
(Baca juga: Menteri Susi: 1.106 Pulau Tak Bernama Siap Didaftarkan ke PBB)
“Kerja sama antara pemerintah dengan pemimpin industri merupakan cara yang paling tepat guna memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja, serta memastikan RI dapat mengambil manfaat ekonomi sumber daya maritim secara berkelanjutan,” katanya.
Kasus yang menyita perhatian dunia adalah tindak pidana perdagangan orang di Grup Usaha Pusaka Benjina yang terungkap tahun lalu oleh KKP dan Satgas 115. Praktik tindak pidana perdagangan orang ini melibatkan 600 warga negara asing yang dipekerjakan sebagai ABK di Benjina.
Dalam kasus ini, manager lapangan, 1 orang petugas keamanan dan 5 kapten kapal berkebangsaan Thailand, telah divonis 3 tahun penjara. Para pelaku divonis melanggar Pasal 185 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan ancaman pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal empat tahun dan atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta.