Tax Amnesty Dinilai Gagal Merayu Wajib Pajak Pulangkan Harta
Kurang dari dua bulan lagi, program pengampunan pajak (tax amnesty) bakal berakhir. Meski pemerintah mengklaim paling sukses menyelenggarakan program tersebut dari sisi perolehan dana tebusan, nyatanya target pemulangan harta dari luar negeri (repatriasi) tidak tercapai.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menuturkan, berdasarkan data yang dimilikinya, sedikitnya terdapat Rp 700 triliun harta likuid orang Indonesia yang ada di luar negeri. Namun, total komitmen repatriasi sejauh ini baru berkisar Rp 141 triliun. Adapun realisasinya hanya Rp 112,2 triliun. Padahal, pemerintah semula menargetkan dana repatriasi sebesar Rp 1.000 triliun.
(Baca juga: Jelang Akhir Tax Amnesty, Ditjen Pajak Surati 1 Juta Warga)
Ia menilai, minimnya dana repatriasi karena insentif yang diberikan pemerintah dalam program tersebut kurang menarik. "Pemerintah tidak bisa merayu mereka karena insentif yang menjadi daya tarik kurang, seperti kebijakan perbankan, dan lainnya. Jadi belum ada kesatuan paket kebijakan yang betul-betul bisa memperlakukan investor untuk bawa uang ke sini," ujar Prastowo saat diskusi publik 'Outlook Perpajakan 2017' di Jakarta, Selasa (7/2).
Selain itu, ada ketidakjelasan soal produk investasi yang tersedia untuk menampung dana repatriasi, terutama produk investasi yang disiapkan BUMN untuk pendanaan proyek infrastruktur. Prastowo juga mengkrititisi pemerintah daerah (pemda) yang tak banyak membantu dalam menyukseskan program tersebut.
"Bagaimana bisa mau menarik uang ke Indonesia. Jadi ini yang perlu diperhatikan pemerintah," katanya. (Baca juga: Kepercayaan Investor atas Tax Amnesty Terganggu Isu SARA)
Di sisi lain, Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Andreas Eddy Susetyo mengatakan, selain repatriasi yang jauh dari target, keikutsertaan program tersebut pun jauh dari potensi yang ada. Menurut dia, angka partisipasi program tax amnesty hanya 15 persen.
Ke depan, ia menyarankan agar pemerintah mencari cara mengejar 85 persen potensi yang belum terjaring dalam program tax amnesty. "Artinya setelah 31 maret 2017 maka langkah strategis apa yang akan dilakukan pada 85 persen sisanya," ujarnya.
Menurut dia, bila pemerintah melalui Ditjen Pajak tidak bisa melakukan langkah apapun, maka akan tercipta ketidakadilan pada 15 persen yang telah berpartisipasi dalam program tax amnesty.
Lebih jauh, Andreas meminta pemerintah memaksimalkan potensi pajak dari data yang telah dideklarasikan peserta tax amnesty. Selain itu, pemerintah bisa memaksimalkan pengejaran pajak dengan memanfaatkan program pertukaran data keuangan secara otomatis atau (Authomatic Exchange of Information/AEOI) antarnegara yang akan diikuti Indonesia pada 2018 mendatang.
(Baca juga: Satukan Nomor Penduduk dan NPWP, Wajib Pajak Bisa Tambah 1 Persen)
"Karena kalau itu sudah terbuka, saya rasanya bisa melihat suatu opportunity (peluang) di situ. Kalau data perbankan terbuka, maka jauh angka perolehan perpajakan kita dibanding tax amnesty," ujarnya. Andreas juga mendorong pemerintah bersama DPR segera menyesuaikan kebijakan-kebijakan yang ada untuk mendukung program tersebut.