Dewa Ruci, Kisah Pewayangan Agar Manusia Mampu Mengenali Jati Diri
Dewa Ruci merupakan salah satu tokoh wayang yang dijumpai Bima atau Werkudara, seorang ksatria dari keluarga Pandawa.
Dewa Ruci digambarkan sebagai dewa kerdil atau mini, kemudian Dewa Ruci diadaptasi menjadi lakon atau judul sebuah pertunjukan wayang.
Menurut Aris Wahyudi dalam buku "Lakon Dewa Ruci: Cara Menjadi Orang Jawa", kisah Dewa Ruci mengandung nasihat-nasihat kehidupan dan moral orang Jawa.
Kisah Dewa Ruci juga menggambarkan kepatuhan seorang murit kepada gurunya, agar dapat mengenali diri sendiri.
Kisah Dewa Ruci
Cerita Dewa Ruci berawal saat Bima diutus gurunya, Resi Drona, yang memerintahkannya mencari banyu prawitasari yang berada di Gunung Candramuka.
Bima tidak mengetahui bahwa tujuan tugas yang diberikan kepadanya untuk mengurangi kekuatan Pandawa lima. Sebab, jika Bima tewas dalam tugas ini akan lebih mudah untuk membunuh saudara-saudaranya yang lain.
Resi Drona sebagai guru Bima sebenarnya enggan menggunakan cara licik seperti ini. Namun, karena ia merasa berhutang budi pada Duryudana dan Sengkuni, ia dengan berat hati melakukan hal ini.
Bima sendiri dikisahkan berhasil mencapai Gunung Candramuka, namun ia tak bisa menemukan air yang dimaksud sang guru.
Akhirnya dirinya pergi ke hutan namun malah diganggu dengan dua raksasa bernama Rukmala dan Rukmakala.
Dengan kekuatannya, Bima berhasil mengalahkannya, namun air suci itu tetap tidak ditemukan. Karena itulah, dirinya kembali menemui dan menanyakan pada Drona.
Alangkah terkejudnya Drona saat melihat Bima masih dalam keadaaan segar bugar. Untuk menutupi niat jahatnya, Drona mengatakan bahwa perintah untuk pergi ke Candramuka adalah dalam rangka untuk menguji keteguhan hatinya.
Drona lantas, menunjukan Laut Selatan sebagai tempat keberadaan banyu perwitasari yang sebenarnya.
Sebelum pergi, Bima meminta izin kepada ibu dan saudara-saudaranya. Mereka sempat melarang keberangkatan Bima karena yakin bahwa ini adalah niat jahat dari Drona.
Tetapi Bima berkeyakinan, bahwa seorang guru tidak mungkin mencelakakan muridnya sendiri. Dirinya harus berjalan melewati Sunyapringga, hutan yang terkenal berbahaya untuk menuju ke Laut Selatan.
Di hutan tersebut, dirinya sempat ditemui empat saudara Tunggal Bayu yang mencegah niat Bima, walau akhirnya gagal. Mereka kemudian membantu Bima dengan menyatukan diri menjadi Liman Setubanda, yang dijadikannya untuk mengarungi laut.
Bima tenggelam melayang-layang dalam lautan setelah kendaraanya ini meninggalkannya. Dalam Kisah Dewa Ruci, Bima dituntut untuk menghilangkan semua nafsunya. Dirinya juga harus melakukan sembah rogo, sembah cipto, sembah jiwo, dan sembah roso.
Setelah melakukan keempat hal ini, dirinya akhirnya dapat berjumpa dengan Dewa Ruci. Semula Bima tidak melihat apa-apa di dalam tubuh Dewa Ruci.
Namun setelah dibimbing, dia dapat melihat cahaya dengan empat warna, yakni hitam, merah, kuning, dan putih.
Empat warna ini melambangkan angkara (hitam), amarah (merah), nafsu (kuning), putih (ketentraman). Setelah dapat mengendalikan nafsunya, Bima melihat juga tiga boneka berwarna kuning emas.
Ini melambangkan bersatunya makrokosmos dan mikrokosmos yang menyatu dalam triloka, yakni tubuh, alam kesadaran, dan alam pikiran.
Makna di Balik Kisah Dewa Ruci
RM Pranoedjoe Poespaningrat dalam bukunya Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran (2005), menyebut Serat Dewa Ruci awalnya adalah cerita mistik Kejawen yang sangat terkenal.
Kemudian, karya sastra ini digubah oleh Sunan Kalijaga untuk menjadi salah satu metode menyebarkan ajaran Islam. Cerita pewayangan Dewa Ruci kemudian berganti nama menjadi suluk yang berasal dari Bahasa Arab yakni Salaka, berarti menuju Tuhan.
Dalam Kisah Dewa Ruci, sebagian orang Jawa percaya penulisannya dipandang sebagai salah satu cara dakwah. Sekaligus simbolisasi dari pengalaman pribadi Sunan Kalijaga ketika dirinya bertemu dengan tokoh spiritual.
Kisah pewayangan Dewa Ruci menjadi simbolisasi dari apa yang dialami oleh Sunan Kalijaga, atau lebih umum sebagai penggambaran dari pengalaman seorang Muslim mendapatkan pengetahuan tentang jatining jejer ing Pangeran.
Hal ini biasanya ingin didapatkan oleh mereka yang masuk dalam lingkaran tasawuf atau tarekat-tarekat. Memang ada segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan kepada Allah melalui ibadah, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan.
Jalan untuk itu, salah satunya diberikan oleh tasawuf. Tasawuf atau sufisme adalah istilah khusus yang dipakai untuk menggambarkan mistisme dalam Islam. Dalam pencarian mistisme seseorang harus bisa menjauhi kehidupan duniawi dan kesenangan matrialis semata.
Perjalanan Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan cairan perwita, mengalahkan naga, dan berjumpa dengan Dewa Ruci sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang mampu menghalanginya menuju kesempurnaan.
Misalnya, nafsu makan, kekuasaan, kesombongan dan lain-lain. Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lepas dari jalan melakukan sesuatu diri), dan rendah hati.