Makna dan Awal Mula Rebo Wekasan
Rabu Pungkasan atau yang lebih dikenal dalam Bahasa Jawa sebagai Rebo Wekasan adalah sebutan untuk hari Rabu terakhir dalam Bulan Shafar pada Kalender Hijriah. Rebo Wekasan diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura sebagai hari datangnya musibah.
Pada Rebo Wekasan, masyarakat biasanya melakukan beberapa aktivitas yang tujuannya adalah untuk menolak bala. Beberapa aktivitas tersebut seperti tahlilan (melakukan zikir secara bersama-sama), membagikan makanan baik dalam bentuk gunungan maupun selamatan, dan melaksanakan salat sunah lidaf’il bala (tolak bala) bersama-sama.
Akan tetapi pada beberapa kalangan Nahdlatul Ulama, salat sunah lidaf’il bala mulai ditinggalkan dan digantikan dengan salat sunah yang lain. Berkaitan dengan Rebo Wekasan, simak penjelasannya berikut agar lebih mudah memahaminya.
Awal Mula Rebo Wekasan dan Pandangan Islam Terhadapnya
Pada mulanya, Rebo Wekasan merupakan upacara tradisonal yang dilakukan di tempuran Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Tempuran adalah tempat bertemunya dua sungai.
Kedua sungai tersebut berkaitan dengan mitos peristiwa pertemuan antara Sultan Agung dengan penguasa pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul. Akan tetapi, kegiatan ini digantikan dengan acara mengarak gunungan lemper diiringi arak-arakan. Hal ini disebabkan karena kegiatan yang dilakukan di tempuran Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak dinilai menimbulkan efek negatif.
Upacara pada Rebo Wekasan biasanya diawali dengan rangaian Upacara Adat Safaran yang akan berakhir pada Jumat Kliwon bulan Maulid. Beberapa contoh upacara tersebut adalah Sedekah Ketupat, Sidekah Kupat di daerah Dayeuhluhur, Cilacap; Upacara Rebo Pungkasan, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta; Ngirab, di daerah Cirebonan; dan Safaran di beberapa daerah lain.
Sedangkan untuk makanan yang identik dengan perayaan upacara-upacara tersebut adalah ketupat, kue apem, dan nasi tumpeng. Selain upacara-upacara, terdapat juga doa yang biasanya dibacakan pada Rebo Wekasan. Doa tersebut adalah sebagai berikut:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَنَبِيِّكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى اَلِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْيؤءشس اَللَّهُمَّ إِنّي نَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذَا الشَّهْرِ، وَمِنْ كُلِّ شِدَّةٍ وَبَلَاءٍ وبَلِيَّةٍ قدَّرْتَهَا فِيْهِ يَا دَهْرَ، يَا مَالِكَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، يَا عَالِماً بِمَا كَانَ وَمَا يَكُوْنُ، وَمَنْ إِذَا أَرَادَ شَيْئاً قَالَ لَهُ: (كُنْ فَيَكُوْنُ) يَا أَزَلِي يَا أَبَدِي يَا مُبْدِئ يَا مُعِيْدُ يَاذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ، يَاذَا الْعَرْشِ الْمَجِيْدِ أَنْتَ تَفْعَلُ مَا تُرِيْدُ
اَللَّهُمَّ احْرِسْ بِعَيْنِكَ نَفْسِيْ وَأَهْلِيْ وَمالي وولدي وديني ودنياي الَّتِي ابْتَلَيْتَني بِصُحْبَتِهَا بِبَرَكَةِ الْأَبْرَارِ وَالأخْيَارِ بِرَحْمَتِكَ يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ، يَاكَرِيْمُ يَاسَتَّارُ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْن
اَللَّهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى، وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَنِ، يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ، اِكْفِنِي عنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ، يَا مُحْسِنُ يَا مُجْمِلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ اِرْحَمْنَا اللَّهُمَّ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ أَجْمَعِيْنَ
Bismillaahir rohmaanir rohiim. Allohumma sholli 'alaa sayyidinaa muhammadin 'abdika wa nabiyyika wa rosuulikan nabiyyil ummiyyi wa 'alaa aalihii wa baarik wa sallim.
Allohohumma innii a'uudzubika min syarri haadzasy syahri wa min kulli syiddatin wa balaa-in wa baliyyatin qoddartahaa fiihi yaa dahru yaa maalikad dunyaa wal aakhiroti yaa 'aaliman bimaa kaana wa maa yakuunu wa man arooda syai-an qoola lahuu kun fayakuun. Yaa azaliyyu yaa abadiyyu yaa mubdi-u yaa mu'iidu yaa dzal jalaali wal ikroom, yaa dzal 'arsyil majiid, anta taf'alu maa yuriid.
Allohummahris nafsii wa ahlii wa maali wa waladii wa diinii wa dunyaaya allatii ibtalaitanii bi shuhbatihaa bi hurmatil abroori wal akhyaari birohmatika yaa 'aziizu yaa ghaffaaru yaa kariimu yaa sattaaru birohmatika yaa arhamar roohimiin.
Allohumma yaa syadiidal quwaa wa yaa syadiidal mihaali yaa 'aziizu dzallat li 'izzatika jamii'u kholqika ikfinii 'an jamii'i kholqika yaa muhsinu yaa mujammilu yaa mutafadhdhilu yaa mun'imu yaa mukrimu yaa man laa ilaaha illaa anta birohmatika yaa arhamar roohimiin. Wa shollallaahu 'alaa sayyidinaa muhammadin wa 'alaa aalihii wa shohbihii wa sallim ajma'iin.
Artinya:
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ya Allah, limpahkanlah ṣalawat, barakah, dan salam atas Sayyidina Muhammad hamba-Mu,nabi dan rasul-Mu, nabi yang ummi dan keluarganya.
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan bulan ini dan dari setiap kesulitan, cobaan, dan bencana yang Engkau takdirkan di dalamnya, wahai Pencipta kehidupan, wahai Penguasa dunia dan akhirat, wahai Tuhan yang mengetahui semua peristiwa yang sudah terjadi dan yang sedang terjadi dan Tuhan yang apabila Ia menghendaki sesuatu hanya dengan cukup berkata, "Jadilah", maka sesuatu itupun akan terjadi.
Wahai Tuhanku yang Azali, wahai Tuhan yang Abadi, wahai Tuhan yang menciptakan dari permulaan, wahai Tuhan yang mengembalikan (meng-hidupkan)nya kembali.
Wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kemuliaan, wahai Tuhan pemilik Arsy yang Maha Mulia. Engkau melakukan apa saja yang Engkau kehendaki.
Ya Allah, jagalah dengan pengawasan-Mu, diriku, istriku, hartaku, anakku, agama dan duniaku yang Engkau mengujiku dan menemaninya demi kehormatan orang-orang soleh dan orang-orang baik, dengan rahmat-Mu, wahai Tuhan yang Maha Perkasa, wahai Tuhan yang Maha Pengampun, wahai Tuhan yang Maha Pemurah, wahai Tuhan yang menutupi kejelekan, dengan rahmat-Mu, wahai Tuhan yang Maha Penyayang di antara para penyayang.
Ya Allah, wahai Tuhan yang Maha Kuat, wahai Tuhan yang Maha Keras siksa-Nya, wahai Tuhan yang Maha Perkasa, tunduk kepada keperkasaan-Mu semua makhluk-Mu, lindungilah aku dari semua makhluk-Mu.
Wahai Tuhan yang selalu berbuat baik, wahai Tuhan yang membuat kebagusan, wahai Tuhan yang memberi karunia, wahai Tuhan yang memberi kenikmatan, wahai Tuhan yang memuliakan, wahai Tuhan yang tiada Tuhan selain Engkau, dengan rahmat-Mu, wahai Tuhan yang Maha Penyayang di antara para penyayang."
Meskipun tradisi ini sudah berlangsung lama, KH. Abdul Kholik Mustaqim, menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan. Hal tersebut dikarenakan tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shafar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Selain itu, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’. Ada anjuran dari sebagian ulama tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Selanjutnya, tidak boleh melaksanakan salat hajat lidaf’il bala’ yang ditujukan untuk memperingati pada Rebo Wekasan, kecuali hanya sebatas salat hajat lidaf’il bala’ al-makhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (shalat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah.