Mengenal NFT, Pengertian, Sistem dan Aspek Perpajakannya
NFT menjadi topik hangat yang banyak dibicarkan sejak awal tahun lalu. Jumlah transaksi dan investornya terus menunjukkan peningkatan, dan diprediksi akan terus meningkat.
Nonfungible.com mencatat, jumlah transaksi NFT mencapai US$ 17,6 miliar atau sekitar Rp 251,6 triliun sepanjang tahun lalu. Nilainya melonjak 21.000% dibandingkan 2020 yang sebesar US$ 82 juta atau Rp 1,2 triliun.
Sedangkan, jumlah pembeli NFT melonjak dari 75 ribu menjadi 2,3 juta. Investor menghasilkan total keuntungan US$ 5,4 miliar dari penjualan NFT tahun lalu. Lebih dari 470 dompet menghasilkan keuntungan lebih dari US$ 1 juta.
Lantas, apa sebenarnya NFT itu, seperti apa sistem kerjanya dan apakah instrumen ini memiliki aspek perpajakan di Indonesia? Simak ulasan singkat berikut ini.
Pengertian NFT
NFT merupakan singkatan dari non-fungible token, yang merupakan berkas digital dengan identitas dan kepemilikan yang unik. NFT menggunakan teknologi blockchain yang sama dengan cryptocurrency.
Namun, NFT sendiri bukanlah sebuah mata uang seperti cryptocurrency. Hal ini mengacu pada kata "non fungible" dalam instrumen ini, yang berarti tidak dapat dipertukarkan. Sehingga, NFT bersifat unik dan tidak dapat direplikasi atau diganti dengan yang lain.
Definisi lain menyebutkan, NFT adalah aset digital yang berbentuk karya seni maupun barang koleksi yang dapat dipergunakan untuk membeli sesuatu secara virtual. Karya seni dan koleksi ini dapat berupa foto, gambar, lagu, rekaman suara, video, gim, dan sebagainya.
Secara sederhana, NFT merupakan aset digital berbentuk karya seni dan barang koleksi yang berharga dan nilainya tidak dapat ditukarkan. Karya seni tersebut dapat berupa gambar, foto, lagu, rekaman suara, video, permainan, dan sebagainya.
Sistem dan Cara Kerja NFT
Sesuai definisinya, setiap NFT tergolong unik dan tidak bisa dibagi. Artinya, satu NFT hanya dapat dimiliki oleh satu orang dalam satu periode waktu. Kepemilikian atas NFT ini diatur melalui identifikasi atau ID yang unik dan metadata yang tidak dapat digandakan.
NFT merupakan bagian dari blockchain, artinya pemilik NFT dapat memverifikasi bahwa dirinya adalah pemilik tunggal dari token tersebut. Setelah membayar, maka tidak ada yang dapat membatalkan hak kepemilikan atas NFT yang telah dibeli.
Ketika seseorang hendak menjual NFT miliknya, maka token tersebut harus melalui proses minting terlebih dahulu. Ini merupakan proses mengubah file digital menjadi aset di blockchain. Semua informasi mengenai aset tersebut tersimpan ke dalam blockchain.
Proses minting secara garis besar meliputi tiga langkah, yaitu:
- Membuat blok baru.
- Memvalidasi informasi.
- Merekam informasi ke dalam blockchain.
Lalu, pembuat NFT harus memiliki akun di marketplace NFT untuk menjual aset tersebut. Patut diingat, setiap marketplace NFT memiliki aturan transaksi yang berbeda dan penjual harus memilliki cryptocurrency yang mendukung aktivitas jual-beli di marketplace tersebut.
Mengutip www.online-pajak.com, NFT memiliki kelebihan yang membuatnya digemari oleh banyak orang. Beberapa kelebihan yang dimaksud antara lain:
- Hak cipta hanya dapat dipegang dan dikelola oleh pemilik aset.
- NFT tidak dapat dipalsukan dan langka.
- Keamanan yang tinggi terhadap aset digital.
- Aset bersifat kekal dan hak kepemilikan tidak dapat dibatalkan.
- Nilai aset tinggi, sehingga mudah menjualnya kembali.
Meski memakai platform blockchain, NFT sepenuhnya berbeda dibanding cryptocurrency. Sejatinya, NFT merupakan aset yang berkembang dari cryptocurrency, namun dengan tujuan dan penggunaan yang berbeda.
Seperti telah disebutkan, NFT hanya dibuat satu kali dan tidak dapat ditukar dengan objek lainnya meski memiliki nilai serupa. Selain itu, satu NFT memiliki informasi yang berbeda dengan NFT lain, sehingga membuatnya unik.
Sementara, cryptocurrency adalah aset digital yang dirancang sebagai media pertukaran, menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol proses pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset.
Aspek Perpajakan dalam NFT
Meski belum ada regulasi yang khusus mengatur mengenai NFT, namun atas penjualan aset ini tetap dikenai pajak penghasilan (PPh). Hal ini sesuai dengan Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang (UU) PPh, yang kemudian diganti menjadi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Secara singkat, Pasal 4 Ayat (1) UU PPh menyebutkan, bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan merupakan objek pajak.
Laba atas penjualan NFT dan aset digital kripto lainnya termasuk ke dalam objek pajak karena diyakini menambah kekayaan penjualnya. Aset digital ini termasuk bagian dari investasi sehingga dapat dikategorikan ke dalam harta kode 039, yaitu investasi lain.
Karena proses jual-beli NFT dilakukan dengan cryptocurrency, maka aturan teknis yang berlaku adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
Pada PMK Nomor 68/PMK.03/2022 Pasal 20 Ayat (1) disebutkan bahwa Penghasilan yang diterima atau diperoleh merupakan objek Pajak Penghasilan. Kemudian pada Pasal (2) menyebutkan, penghasilan yang dimaksud meliputi penghasilan dari seluruh jenis transaksi aset kripto, berupa:
- Transaksi dengan pembayaran mata uang fiat
- Tukar menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya (swap)
- Transaksi aset kripto selain transaksi dengan mata uang fiat dan swap.
Penjualan cryptocurrency ini, dikenai aturan PPh Pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1% dari nilai transaksi. Ini belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini diatur dalam PMK Nomor 68/PMK.03/2022 Pasal 21 Ayat (1) Sebagai informasi, tarif PPh yang dikenakan ini bersifat final.
Nilai transaksi yang menjadi patokan dalam pengenaan PPh Pasal 22 ini meliputi:
- Nilai uang yang dibayarkan oleh pembeli aset kripto, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dalam hal transaksi dilakukan dengan pembayaran berupa mata uang fiat.
- Nilai masing-masing aset kripto yang diserahkan oleh para pihak yang bertransaksi, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dalam hal transaksi dilakukan dengan tukar menukar dengan aset kripto lainnya.
- Jumlah pembayaran yang diterima penjual aset kripto, dalam hal transaksi menggunakan metode selain transaksi dengan mata uang fiat dan tukar-menukar aset kripto.
Kesimpulannya, NFT memang tidak memiliki regulasi perpajakan di Indonesia. Namun, karena penjualannya memanfaatkan mata uang kripto atau cryptocurrency, maka atas penghasilan yang diperoleh lewat penjualannya dikenakan pajak penghasilan.