Menilik Jalan Panjang DJP, Sang Pengisi Pundi Negara

Image title
14 Juli 2022, 06:30
pajak, perpajakan, DJP
Arief Kamaludin | KATADATA
Ilustrasi, Gedung Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Tanggal 14 Juli merupakan tanggal yang tergolong istimewa dalam sejarah perekonomian Indonesia. Pasalnya, tanggal ini merupakan peringatan Hari Pajak, hari di mana perpajakan masuk dalam dasar negara.

Memang, peringatan Hari Pajak baru dimulai pada 2017. Namun, peringatan ini bertumpu pada suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya pajak bagi negara.

Dalam sidang panitia kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Radjiman Wedyodiningrat, seorang dokter dan ketua badan tersebut mengusulkan, bahwa pemungutan pajak harus diatur hukum.

Usulan tersebut diterima oleh seluruh anggota BPUKI, dan akhirnya muncul dalam draf kedua Undang-undang Dasar (UUD), yang disampaikan pada 14 Juli 1945. Ini terlihat dalam Pasal 23A Bab VII Hal Keuangan, yang menyebutkan "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang."

Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, organisasi Kementerian Keuangan langsung dibentuk. Dalam kementerian ini, urusan pajak ditangani oleh Pejabatan Pajak, yang kini menjadi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

DJP memiliki tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Sepanjang sejarahnya, DJP memainkan peranan penting dalam pembangunan bangsa. Selama bertahun-tahun, direktorat di Kementerian Keuangan ini berperan sebagai tulang punggung negara.

Penyusunan Organisasi Perpajakan

Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2021, pajak termasuk bidang yang pertama dilembagakan dalam organisasi Kementerian Keuangan. Pada September 1945, organisasi Kementerian Keuangan disusun, dan terdiri dari lima pejabatan, salah satunya adalah Pejabatan Pajak.

Pejabatan Pajak ini membawahi tiga urusan, yakni perpajakan, bea dan cukai, serta pajak bumi. Ketika pemerintahan hijrah ke Yogyakarta, pejabatan-pejabatan di bawah Kementerian Keuangan ikut pindah. Pejabatan Pajak ditempatkan di Magelang, Jawa Tengah.

Kendati dalam situasi perang, pembenahan tetap dilakukan. Pada 1 Oktober 1946, struktur organisasi Kementerian Keuangan dirombak. Urusan bea dan cukai, serta pajak bumi dilepaskan dari Pejabatan Pajak, dan menjadi dua pejabatan tersendiri. Dalam permulaan periode ini tugas Departemen Keuangan utamanya berkisar pada penyempurnaan pemungutan pajak dan pencetakan uang sendiri.

Segera setelah terbentuk, Pejabatan Pajak mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk memastikan pundi-pundi negara yang masih muda ini terisi.

Beberapa kebijakan yang dikeluarkan Pejabatan Pajak pada masa awal kemerdekaan antara lain, pajak potong hewan, pajak radio, pajak pendapatan, hingga “pajak pembangunan” yang dipungut dari rumah makan dan penginapan. Seiring waktu, beberapa kebijakan ini terus disempurnakan sesuai kondisi, dan kebutuhan demi terisinya kas negara.

Dari sisi organisasi, urusan perpajakan di Kementerian Keuangan terus mengalami perubahan. Melalui Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1948, nomenklatur pejabatan diubah menjadi jawatan. Saat itu, Kementerian Keuangan memiliki delapan jawatan, di antaranya Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai, dan Jawatan Pajak Bumi.

Menyusul pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, kerja Kementerian Keuangan kian berat. Kekurangan tenaga ahli dan didorong oleh efisiensi, mendorong Kementerian Keuangan mengangkat tiga pejabat tinggi.

Tiga pejabat tersebut, antara lain yakni Sekretaris Jenderal, yang menangani urusan umum dan kepegawaian. Kemudian, Thesaurier Jenderal yang mengurus pengeluaran dan anggaran belanja negara. Terakhir, Direktur Jenderal Iuran Negara, yang bertugas mengkoordinasi jawatan-jawatan yang mengurus pendapatan negara.

Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai, dan Jawatan Pajak Bumi kemudian ditempatkan di bawah Direktur Jenderal Iuran Negara. Hal ini dilakukan agar memudahkan penerimaan negara.

Namun, hingga pertengahan dekade 1950-an, pendapatan dari pajak, bea cukai, dan pajak bumi belum maksimal. Apalagi pos-pos anggaran tersedot untuk menumpas pergolakan-pergolakan di daerah.

Pendapatan negara juga berkurang karena terjadinya barter, dan penyelundupan di daerah, sehingga menyebabkan defisit negara yang besar. Hal ini juga menyebabkan Jawatan Pajak ditarik langsung di bawah koordinasi Menteri Keuangan.

Lalu, pajak bumi sempat dihapus karena desakan politik. Seiring pemberlakuan pajak hasil bumi pada 1959, dibentuk Jawatan Pajak Hasil Bumi di bawah Departemen Iuran Negara. Sementara, Jawatan Pajak serta Bea Cukai pun ditempatkan di bawah Departemen Iuran Negara.

Kemudian, pada 1964 dibentuk Kompartemen Keuangan. Jawatan Pajak berubah menjadi Direktorat Pajak yang berada di bawah Pembantu Menteri Urusan Pendapatan Negara.

Setahun kemudian Direktorat Pajak Hasil Bumi berubah menjadi Direktorat Ipeda di bawah Menteri Iuran Negara. Keduanya kemudian menjadi instansi vertikal Departemen Keuangan pada periode 1966-1967. Pada 1976, Direktorat Ipeda, dan unit-unit pelaksana di daerah bergabung menjadi bagian dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Organisasi DJP terbagi atas kantor pusat dan kantor operasional. Kantor pusat terdiri atas sekretariat DJP dan direktorat. Dalam perkembangannya pada setiap pemerintahan dan pergantian Menteri Keuangan, DJP mengalami reorganisasi. Upaya ini terus dilakukan karena kebutuhan tugas berat dan tak mudah yang diemban yaitu menambah anggaran negara melalui sektor pajak.

Melawan Stigma Kolonial

Pada masa-masa awal kemerdekaan, DJP yang kala itu bernama Pejabatan Pajak, menghadapi situasi yang sulit. Tak hanya soal penyusunan kebijakan perpajakan, namun juga melawan stigma pajak yang sudah sedemikian buruk di mata masyarakat.

Ekonom M. Dawam Rahardjo dalam tulisannya bertajuk "Evolusi Struktur Pajak dan Proses Demokratisasi" menyebut, bahwa pajak dalam sejarah Indonesia merupakan stigma masa kolonial.

Bahkan, saat itu muncul kata-kata "Apa gunanya kita merdeka kalau masih disuruh bayar belasting?". Kata belasting yang dimaksud, adalah pajak.

Kata-kata ini mengandung makna yang dalam. Sebab, pajak dicitrakan sebagai ciri penjajahan, dan merdeka berarti bebas dari pajak. Akibat adanya stigma tersebut, pemerintah cenderung berhati-hati dalam mengambil kebijakan keuangan.

Untuk membiayai perjuangan dan pemerintahan, pemerintah mendapatkan dana dengan cara mencetak uang, menjual candu dan emas ke luar negeri. Lalu, menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk program pinjaman nasional, dan sumbangan seperti fonds kemerdekaan.

Meski demikian, otoritas pajak Republik Indonesia (RI) tetap berupaya melakukan penetapan dan pemungutan semua pajak, kecuali pajak bumi dan bea cukai.

Pajak yang dipungut antara lain, pajak pendapatan, upah, kekayaan, rumah tangga, perseroan, pajak "untung perang", verponding, kupon, potong, pembangunan, radio, bea balik nama, bea warisan, dan bea materai.

Setelah pengakuan kedaulatan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), aparatur pajak dari pemerintahan federal bentukan Belanda digabungkan ke dalam aparatur RI. Pekerjaan pertama yang dilakukan adalah, penyeragaman peraturan pajak, dan menghentikan pemungutan pajak yang dualistis.

Demi menambah penerimaan negara, sempat diberlakukan pajak baru, yakni pajak peredaran untuk barang dagangan yang berpindah tangan. Pajak ini mulai berlaku 1 Januari 1951, namun mendapat kecaman keras dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kecaman dilontarkan DPR, karena mengakibatkan kenaikan harga barang.

Atas tekanan DPR, pemberlakuan pajak peredaran dibatasi dan pada 1 Oktober 1951 diganti oleh pajak penjualan. Pada tahun yang sama, pajak bumi yang dikenakan pada petani pemilik tanah menghadapi apa yang dikenal dengan 'Mosi Tauchid' dan akhirnya dihapuskan.

Meski demikian, ada beberapa kebijakan pajak yang merupakan peninggalan era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Beberapa pajak tetap dikenakan berdasarkan peraturan zaman kolonial. Pajak warisan zaman kolonial tetap dipungut, namun pada tingkat yang tidak membangkitkan trauma dan antipati masyarakat.

Kesulitan juga dialami, terkait dengan tidak adanya Anggaran Belanja Negara yang disahkan sebelum tahun yang bersangkutan. Pemerintah kesulitan mengajukan rancangan UU perpajakan kepada DPR, jika tidak diketahui untuk apa pungutan itu diperlukan. Untuk menyiasatinya dikeluarkan UU darurat.

Mengutip buku "20 Tahun Indonesia Merdeka", selama 1950-1954 dikeluarkan 59 UU darurat di bidang keuangan dengan 37 di antaranya mengenai perpajakan. Selain itu, untuk menghindari kesulitan yuridis dan keberatan DPR, pemerintah melakukan beberapa pungutan yang tidak memerlukan pengesahan UU.

Contohnya, tambahan pembayaran impor yang diberi bentuk sebagai multiple exchange rate, yaitu nilai penukaran yang banyak tingkat terhadap uang asing, tergantung daripada pemakaian uang asing tersebut.

Namun, upaya menambah penerimaan negara ini terkendala struktur ekonomi Indonesia saat itu, yang masih bergantung pada volume impor dan ekspor. Dawam menuliskan, upaya menggantungkan diri pada sektor perdagangan internasional sangat riskan, karena sangat sensitif terhadap fluktuasi pasar dunia.

Oleh karena itu, jika pada periode 1956-1959 hanya ada tambahan pajak penduduk bangsa asing, setelah itu banyak jenis pajak diperkenalkan. Misalnya, pajak bea balik nama kendaraan bermotor, pajak deviden, sumbangan wajib istimewa kendaraan bermotor, dan sumbangan wajib istimewa bangunan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...