Sri Mulyani: Dampak Perubahan Iklim ke Negara Miskin Bisa Picu Krisis
Perubahan iklim menjadi ancaman yang diwaspadai oleh berbagai negara di belahan dunia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan perubahan iklim dapat berdampak sebesar pandemi Covid-19.
"Perubahan iklim dampaknya akan sama dengan pandemi Covid-19. negara-negara yang miskin mungkin akan mendapatkan dampak yang jauh lebih berat," kata Sri Mulyani dalam sebuah diskusi virtual, Selasa, (27/7).
Seperti halnya pandemi Covid-19, menurut Sri Mulyani semua negara akan merasakan dampak dari perubahan iklm. Tidak ada satu negara pun yang bisa terbebas dari ancaman ini. Namun, menurut dia, dampak perubahan iklim akan lebih berat bagi negara-negara miskin karna sektor kesehatan maupun fiskal yang tidak siap.
Ia mengatakan, kekhawatiran dunia terhadap ancaman perubahan iklim membuat pemimpin dunia mulai menaruh perhatian pada permasalahan ini. Penanganan perubahan iklim menjadi salah satu topik yang dibicarakan dalam pertemuan menteri keuangan negara-negara G20 beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, kehadiran Indonesia dalam forum G20 berpeluang mengambil kontribusi besar dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Ini terutama karena kondisi geografis, yakni jumlah penduduk serta perekonomiannya yang besar. Indonesia bisa mememberikan solusi sebagai representase negara-negara berkembang dalam forum tersebut.
"Indonesia sebagai negara kelas menengah merepresentasikan kepentingan yang berbeda dari negara-negara yang sudah realtif maju dan tentu jejak karbonnya juga berbeda," kata dia.
Laporan terbaru PBB awal tahun ini menunjukkan biaya adaptasi terhadap perubahan iklim di negara berkembang setiap tahun diperkirakan mencapai US$70 miliar saat ini. Nilainya akan terus naik mencapai U$ 140 miliar - US$ 300 miliar pada tahun 2030 dan US$ 280 miliar - US$ 500 miliar pada tahun 2050.
Pemerintah juga terus menghitung nilai ekonomi yang berpotensi hilang akibat dampak perubahan iklim di Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas memperkirakan kerugian ekonominya bisa mencapai Rp 115 triliun pada 2024.
Ia menilai, penerapan ekonomi sirkular dapat menjadi salah satu upaya untuk menghindari ancaman kerugian tersebut. Model ekonomi ini mampu meningkatkan ketahanan dan manfaat ekonomi jangka panjang.
Ia menghitung, penerapan ekonomi sirkular di lima sektor prioritas mampu menambah Produk Domestik Bruto (PDB) hingga mencapai Rp 642 triliun. Di samping itu ekonomi sirkular juga membantu Indonesia dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 pada tahun 2030.
Indonesia telah mematok target nasional untuk penanganan perubahan iklim dalam pertemuan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 2016 lalu. Dalam forum tersebut, pemerintah berjanji akan mengurangi 29% emisi karbon nasional tanpa bantuan internasional dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Dalam laporan Climate Change Performance Index (CCPI), Swedia didapuk sebagai negara dengan dengan performa perubahan iklim tertinggi. Negara tersebut berhasil mengantongi 74,42 poin atau berada di peringkat keempat dunia.
Sementara itu, Indonesia bertengger di posisi 24 dengan skor performa perubahan iklim sebesar 53,59 poin. Skor tersebut membawa Indonesia dalam kategori sedang.