Risiko Migrasi Simpanan Bank di Tengah Tren Penurunan Bunga Deposito
- BI telah menurunkan bunga acuan 0,25% menjadi 3,5%
- Perbankan akan memangkas lagi bunga deposito sesuai kebijakan BI.
- Tren bunga deposito rendah memicu perpindahan dana nasabah ke instrumen investasi lain.
Pandemi Covid-19 membuat simpanan Lidia, 32 tahun, di perbankan membumbung. Tak ada pengeluaran untuk nongkrong di kafe, makan di restoran, hingga traveling ke daerah atau negara lain yang kerap dilakukan sebelum pandemi terjadi
"Porsi untuk tabungan memang jadi lebih besar karena enggak ada biaya keluar rumah," ujar Lidia kepada Katadata.co.id, Jumat (26/2).
Lidia menempatkan hampir seluruh tabungannya di perbankan dalam bentuk deposito. Keamanan dan kemudahan menjadi alasan utama. "Sebenarnya bukan hanya karena bunga yang ditawarkan, tapi karena fleksibel," katanya.
Namun belakangan, ia menjajal investasi di saham lantaran penasaran dengan investasi yang tengah digandrungi generasi milineial dan gen z ini. Apalagi, imbal hasil yang ditawarkan juga menarik di tengah tren penurunan bunga deposito.
"Penasaran dengan investasi di saham, jadi sekarang mulai masuk sedikit. Ada pemikiran untuk memindahkan sebagian dari deposito ke saham, tapi masih lihat-lihat dulu," ujarnya.
Bunga deposito diperkirakan masih akan menurun seiring dengan langkah Bank Indonesia yang kembali memangkas bunga acuan pada bulan ini menjadi 3,5%. Lembaga Penjamin Simpanan juga menurunkan tingkat bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum dan BPR menjadi 6,75%.
Direktur Utama BCA Jahja Setiatmadja mengatakan pihaknya bakal merespons kebijakan tersebut dengan kembali menurunkan bunga deposito. "Kami akan segera turunkan lagi bunga deposito menjadi 2,9%," ujar Jahja kepada Katadata.co.id, Jumat (26/2).
Meski demikian, ia tak menyebut kapan bunga deposito yang baru akan berlaku. Saat ini, rata-rata bunga deposito BCA untuk seluruh nominal simpanan dan tenor hanya 3%. Tingkat bunga ini merupakan yang terendah di perbankan.
Jahja mengakui terjadi perpindahan dana nasabah, baik dari deposito, giro, maupun tabungan ke istrumen lain, seperti ORI. Namun hingga saat ini, likuiditas BCA masih sangat baik. Berdasarkan laporan bulanan BCA, dana pihak ketiga per Januari 2021 masih tumbuh mencapai 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 833 triliun.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada giro yang melonjak dari Rp 181,54 triliun menjadi Rp 225,69 triliun. Tabungan naik dari Rp 347,51 triliun menjadi Rp 417,32 triliun, sedangkan deposito naik dari Rp 163,4 triliun menjadi Rp 189,98 triliun.
Direktur Konsumer Bank CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, tren penuruna suku bunga deposito terjadi dalam dua tahun terakhir sejalan dengan penurunan bunga acuan BI. Saat ini, bunga deposito bank CIMB Niaga berkisar 3,75%.
Bunga deposito yang rendah, menurut dia, memang mendorong minat masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen lain yang juga disediakan perbankan seperti reksa dana dan surat utang. Akibatnya, simpanan deposito pada CIMB Niaga tak tumbuh.
"Tetapi memang kami fokus juga ke dana murah dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhannya mencapai 14%," katanya.
Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunato Suku bunga Deposito BRI sepanjang tahun lalu sudah turun 1,5% hingga 2%. Bunga deposito perseroan tahun ini kemungkinan masih akan tetap turun mengikuti penurunan bunga acuan BI.
Meski demikian, menurut dia, simpanan deposito pada bank BUKU 4 masih menarik bagi nasabah. Hal ini lantaran masyarakat menginginkan penempatan dana yang aman dan tenor yang tidak terlalu panjang di tengah kondisi pandemi saat ini.
Risiko Perpindahan Dana
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, kondisi likuiditas perbankan tetap ample meskipun bunga deposito mengalami tren penurunan merespons kebijakan bunga BI. Kondisi likuiditas tersebut, terindikasi dari ekses likuiditas perbankan yang ditempatkan pada instrumen BI per 25 Januari 2021 tercatat sebesar Rp 701,5 triliun atau meningkat sekitar Rp7,5 triliun dari posisi akhir tahun 2020.
"Pertumbuhan DPK per Januari 2021 masih tetap tinggi yakni sekitar 10,57%," ujarnya
Kondisi likuiditas perbankan yang tetap terjaga juga terindikasi dari tren penurunan suku bunga PUAB dimana INDONIA per 25 Februari 2021 yang tercatat di level 2,8%, JIBOR satu minggu di level 3,5%, JIBOR satu bulan di level 3,56% dengan kecenderungan menurun mengikuti tren penurunan suku bunga acuan BI.
"Jadi, meskipun tren penurunan suku bunga DPK berlanjut, likuiditas perbankan diperkirakan akan tetap terjaga karena BI juga akan tetap mengelola kondisi likuiditas agar tetap terjaga," katanya.
Hal tersebut, menurut Josua, akan mendorong suku bunga PUAB tetap rendah sedemikian sehingga transmisi pada suku bunga kredit akan tetap berlanjut yang pada akhirnya diperkirakan akan mendukung peningkatan pertumbuhan kredit dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Kepala Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman sebelumya mengatakan pertumbuhan simpanan yang cepat selama pandemi Covid-19 dapat menimbulkan risiko. Selama pandemi Covid-19, DPK tumbuh dua digit bahkan pernah mencapai 13% secara tahunan, dua kali lipat dari level pertumbuhan sebelum pandemi Covid-19.
Pertumbuhan simpanan yang melesat, menurut dia, merupakan dampak dari kebijakan moneter dan fiskal besar-besaran yang digelontorkan BI dan pemerintah saat ini. Kebijakan tersebut dibutuhkan untuk menangani krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini, tetapi perlu dicermati efek sampingnya terutama di masa depan.
Dengan suku bunga simpanan perbankan yang sangat rendah saat ini, ia khawatir masyarakat akan berbondong-bondong mencari aset di luar deposito yang lebih menjanjikan. Hal ini, di satu sisi dapat dimanfaatkan pemerintah dengan memanfaatkan instrumen-instrumen investasi untuk pembiayaan negara.
Namun, di sisi lain, dapat memicu gelembung pada harga sejumlah aset yang dapat memicu inflasi.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung mengatakan, rendahnya suku bunga simpanan perbankan mendorong rumah tangga kelas menengah atas mencari instrumen lain dengan imbal hasil alias return yang tinggi. "Ini terlihat mereka mulai berinvestasi saham, emas, pasar modal, obligasi, dan lainnya," ujar Juda dalam media briefing virtual, Senin (22/2).
Penjualan emas Antam tercatat melonjak 147,23% pada kuarta l ketiga 2020 jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Di sisi lain, jumlah investor di pasar modal naik 55,85% selama tahun lalu.
Berdasarkan bahan paparannya, return instrumen investasi pada kuartal keempat 2020 memang cukup tinggi. Emas mencatatkan imbal hasil tertinggi yakni 27,54%, disusul saham LQ45 sebesar 23%, nilai aktiva bersih reksa dana 12%, dan ORI 019 5,79%. Kemudian, ORI 018 sebesar 5,7%, reksadana 5,57%, deposito tiga bulan 4,38%, serta properti 1,56%.
Mayoritas instrumen investasi yang diminati investor baru antara lain reksadana, obligasi, dan saham. Minat masyarakat terhadap surat berharga negara (SBN) didorong oleh kemampuan obligasi negara untuk diperjualbelikan serta adanya peningkatan harga di pasar sekunder.
Pangsa kepemilikan saham investor ritel juga terus naik didorong kelompok rumah tangga menengah atas dengan nominal di atas Rp 10 juta dengan pangsa 82,4%. Hal tersebut seiring dengan penurunan suku bunga deposito. Menurut Juda, perpindahan dana dari simpanan tak hanya terlihat pada kelas menengah ke atas.
"Tabungan di bawah Rp 100 juta juga mencari outlet penempatan dengan return tinggi," kata dia.
Tak hanya di instrumen keuangan, masyarakat pun mulai memilih berinvestasi di sektor properti. Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan penjualan dengan harga Rp 1,5-4 miliar yang bukan dijadikan sebagai rumah tinggal. Juda menyebutkan, hal tersebut terlihat dari rasio kartu keluarga (KK) dengan sertifikat rumah sekitar 42%.
"Ini artinya satu KK sudah dipakai untuk berbagai sertifikat," ujarnya.