Ditolak Sri Mulyani, BPK Rayu DPR Setujui Usulan Anggaran Rp 4,59 T
Badan Pemeriksa Keuangan mengusulkan kebutuhan anggaran tahun 2022 sebesar Rp 4,59 triliun. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Suharso Manoarfa ehingga pagu indikatif lembaga pemeriksa tersebut dipatok Rp 3,73 triliun.
Sekretaris Jenderal BPK Bahtiar Arif mengatakan bahwa penurunan pagu indikatif membuat komposisi belanja lembaga itu tidak ideal. "Ini nanti bisa berdampak terhadap penurunan output pemeriksaan BPK," ujar Bahtiar dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (7/6).
Ketidakidealan belanja, sambung dia, terlihat dari pagu indikatif belanja operasional tahun 2022 yang lebih tinggi yakni Rp 2,81 triliun dari alokasi 2021 yaitu Rp 2,49 triliun. Namun, pagu indikatif belanja non-operasional justru turun cukup tajam dari Rp 1,27 triliun menjadi Rp 919 miliar.
Bahtiar menjelaskan, belanja non-operasional diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi utama BPK dalam rangka pencapaian target kinerja rencana strategi (Renstra) 2020-2024. "Inilah yang menjadi perhatian kami," kata dia.
Maka dari itu, ia meminta DPR agar bisa menyetujui usulan kebutuhan anggaran tahun depan. Dengan demikian, akan terdapat tambahan sekitar Rp 861,99 miliar dana ke pagu indikatif BPK pada 2022.
Selain itu, Bahtiar mengusulkan pergeseran anggaran antar program untuk memenuhi kebutuhan belanja pegawai karena komposisi belanja pegawai per program dalam pagu indikatif tahun 2022 tidak ideal. Pergeseran alokasi dana itu juga guna memenuhi kebutuhan dukungan belanja penunjang pemeriksaan, antara lain pelaksanaan inisiatif strategis dan kegiatan strategis lainnya.
Menurut dia, pergeseran belanja ini tidak akan mengurangi anggaran kegiatan pemeriksaan dalam menghasilkan laporan hasil pemeriksaan (LHP). Perubahan pada pagu indikatif tersebut yakni peningkatan dana pada program pemeriksaan negara dari Rp 2,93 triliun menjadi Rp 3,1 triliun dan pengurangan dana program dukungan manajemen dari Rp 799,84 triliun menjadi Rp 628,22 triliun.
Pemerintah berjanji menurunkan secara bertahap defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sempat melebar pada tahun 2020 akibat Covid-19. Dengan demikian, belanja kementerian/lembaga setiap tahunnya akan terus disesuaikan dengan kondisi pandemi.
Tahun depan, pemerintah mematok defisit APBN di rentang Rp 808,2 triliun hingga 879,9 triliun atau 4,51-4,85% terhadap produk domestik bruto (PDB). Belanja negara akan mencapai Rp 2.631,8 triliun hingga Rp 2.775,3 triliun, sedangkan pendapatan negara Rp 1.823,5 triliun hingga Rp 1.895,4 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, arah kebijakan fiskal tahun depan akan berfokus pada pemulihan ekonomi dan melaksanakan reformasi struktural untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. "Efektivitas pemulihan dan reformasi struktural menjadi kunci menuju konsolidasi fiskal tahun 2023," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2021, akhir Apirl 2021.
Secara perinci, pendapatan negara pada tahun depan akan berasal dari perpajakan Rp 1.499,3 triliun - Rp 1.528,7 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 322,4 triliun - Rp 363,1 triliun, dan hibah Rp 1,8 triliun- Rp 3,6 triliun. Sedangkan belanja negara terdiri dari belanja pusat Rp 1.856 triliun - Rp 1.929,9 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa Rp 775,8 triliun- Rp 845,3 triliun.
Rencana anggaran belanja dan pendapatan tersebut lebih tinggi dibandingkan target pemerintah pada tahun ini. Dalam APBN 2021, belanja negara dipatok Rp 2.750 triliun, sedangkan pendapatan negara Rp 1.743,6 triliun.
Adapun defisit anggaran pada tahun depan lebih rendah dibandingkan tahun ini yang dipatok Rp 1.006,4 triliun atau 5,4% PDB. Dengan defisit anggaran tersebut, Sri Mulyani menargetkan pembiayaan anggaran mencapai Rp 808,2 triliun - 879,9 triliun atau 4,51-4,85%. "Pembiayaan 2022 akan terus dijaga secara prudent di dalam kondisi global yang dinamis, termasuk tren dari pemulihan ekonomi global," ujarnya.