• Pemerintah berencana menaikkan pajak orang kaya dan menggelar tax amnesty jilid II melalui RUU KUP.
  • Pemerintah harus mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% pada 2023.
  • Penerimaan pajak hingga April 2021 masih terkontraksi.

Pemerintah harus mengembalikan defisit anggaran di bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto pada 2023. Namun, penerimaan pajak yang menjadi sumber pemasukan utama negara hingga kini masih terhimpit oleh Pandemi Covid-19. Himpitan ini membuat pemerintah harus mengambil langkah baru untuk mengerek penerimaan pajak, di antaranya dengan menaikkan pajak orang kaya dan menggelar kembali tax amnesty.

Kedua kebijakan ini rencananya masuk dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang akan segera dibahas pemerintah dengan DPR.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, RUU KUP akan mengubah golongan tarif Pajak Penghasilan orang pribadi untuk kelompok pendapatan tinggi. Namun, perubahan hanya terbatas pada tarif pajak untuk orang pribadi kelompok pendapatan di atas Rp 5 miliar dari 30% menjadi 35%.

"Kami tidak akan mengubah golongan tarif pajak untuk kelompok pendapatan mayoritas," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (24/5).

Berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang KUP yang berlaku saat ini, terdapat empat lapisan atau golongan tarif PPh Orang Pribadi. Golongan pertama yakni orang pribadi dengan pendapatan hingga Rp 50 juta dikenakan pajak 5%.

Kedua, orang pribadi dengan pendapatan di atas Rp 50 juta hingga Rp 250 juta dikenakan pajak 15%. Ketiga, orang pribadi dengan pendapatan Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenakan pajak 25%. Keempat, orang pribadi dengan pendapatan Rp 500 juta dikenakan pajak 30%.

Dengan demikian, nantinya akan ada tambahan satu golongan tarif baru yakni kelompok orang pribadi dengan pendapatan di atas Rp 5 miliar. "Kelompok masyarakat ini jumlahnya sangat sedikit," kata Sri Mulyani.

Siapa saja mereka yang berpendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun? Berdasarkan data BPS, rata-rata pendapatan penduduk Indonesia berdasarkan pembagian Produk Domestik Bruto dan jumlah penduduk tahun lalu hanya mencapai Rp 56,9 juta.

Namun, Perusahaan Properti asal London Knight Frank Wealth mencatat terdapat 21.430 orang yang memiliki harta kekayaan di atas US$ 1 miliar atau Rp 14,3 triliun pada 2019. Jumlah ini melonjak dibandingkan tahun 2014 yang mencapai 14.730 orang.

Jika mengasumsikan jumlah orang kaya dengan aset tersebut berpenghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun, maka kenaikan 5% pajak dari 14.730 orang paling sedikit mencapai Rp 3,6 triliun per tahun.

Indonesia menjadi salah satu negara Asia dengan pertumbuhan jumlah orang kaya tercepat mencapai 67% dalam lima tahun terakhir, berada di atas India dengan pertumbuhan 63%. Knight Frank Wealth memperkirakan jumlah orang kaya dengan aset di atas US$ 1 miliar akan meningkat lebih dua kali lipat pada 2025 menjadi 45.063.

Pengamat pajak dari DDTC Bawono menilai, penyesuaian tarif dan tax bracket seperti yang direncanakan pemerintah relevan di tengah kondisi saat ini. Di tengah tekanan penerimaan akibat pandemi, beberapa organisasi internasional seperti halnya IMF, OECD, serta ADB juga merekomendasikan adanya terobosan dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak dari kelompok kaya.

"Selain untuk penerimaan, agenda inni juga dikaitkan dengan solidaritas serta upaya mewujudkan ekonomi yang lebih inklusif," ujar Bawono kepada Katadata.co.id, Kamis (27/5).

Dalam praktiknya, menurut dia, beberapa negara juga telah melakukan terobosan penyesuaian tarif dan tax bracket PPh OP selama 2020-2021, antara lain Korea Selatan dan Kolombia. "Penyesuaian tersebut juga berkaitan dengan prinsip ability to pay dan menjamin keadilan secara vertikal.

Kebijakan yang Saling Melengkapi

Pengamat pajak dari CITA Fajry Akbar berharap pemerintah tak sekadar menambah layer baru untuk menaikkan pajak kelompok orang kaya atau pendapatan tinggi. Ia berharap pemerintah juga mengapus PPh final atas imbal hasil instrumen keuangan. 

Ia menjelaskan, penghasilan kelompok super kaya atau konglomerat banyak yang berasal dari instrumen keuangan, termasuk dari luar negeri. Pengenaan tarif PPh final, menurut dia, justru tidak adil. "Dengan dihapusnya PPh final, maka imbal hasil instrumen keuangan akan dikenakan tarif PPh Pasal 17 yang akan dinaikkan Ibu Sri Mulyani,: kata Fajry. 

Fajry pun menilai rencana pemerintah untuk memberlakukan amnesti pajak  jilid kedua dapat melengkapi kebijakan tersebut. Melaui amnesti pajak, aset instrumen keuangan orang-orang kaya terutama yang berada di luar negeri dapat terungkap. "Atas imbal hasil instrumen keuangan tersebut, maka jika PPh final dihapus, dapat dikenaikan dengan tarif pasal 17 yang dinaikkan menjadi 35% untuk orang super kaya," kata dia. 

Ia menduga tax amnesty jilid II tak akan sama dengan yang diselenggarakan pada 2016-2017. Pelaksanaannya kemungkinan akan sama dengan Pengungkapan Aset Sukarela (PAS) yang saat ini dapat dilakukan wajib pajak dengan tarif final. "Hanya sanksinya saja yang diberikan pengampunan," ujarnya. 

Menurut Fajry sanksi memang tidak tepat digunakan oleh pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan tetapi efek pencegahan. Namun amnesti pajak kali ini, menurut dia, dapat digunakan untuk memobilisasi penerimaan dengan effort minim, hasil dari menindaklanjuti data temuan Automatic Exchange of Information (AEOI). 

"Isu awalnya memang ketidakadilan, tetapi dengan desain yang tepat, kebijakan ini dapat memenuhi rasa keadilan terutama bagi mereka yang sudah mengikuti pengampunan jilid I. Contohnya, tarif yang dikenakan lebih besar dari saat jilid pertama, " katanya.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement