• Kepemilikan surat utang negara oleh perbankan bertambah hampir Rp 1.000 triliun selama Pandemi Covid-19. 
  • Besarnya penempatan dana bank di SBN menunjukkan ekonomi belum normal.
  • Porsi kepemilikan bank di SBN yang besar, menggantikan asing mampu menahan gejolak pada rupiah.

Pandemi Covid-19 membuat likuiditas bank melimpah. Gelontoran likuiditas perbankan dan simpanan masyarakat yang meningkat belum mampu disalurkan secara maksimal sebagai kredit.  Surat utang negara pun menjadi peraduan bank untuk menempatkan dana.  

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR), kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh perbankan per 18 Agustus 2021 mencapai Rp 1.527,64 triliun. Jumlah ini melonjak hampir Rp 1.000 triliun dibandingkan sebelum pandemi pada Desember 2019 sebesar Rp 581,37 triliun.  

Porsi kepemilikan perbankan di SBN pun meningkat dari 21,12% menjadi 35,54%. Perbankan mengambil alih porsi kepemilikan asing yang anjlok dari 38,75% menjadi 22,54%.  Adapun total SBN yang beredar hingga Agustus 2021 mencapai Rp 4.325 triliun, melonjak dibandingkan posisi Desember 2019 sebesar Rp 2.752 triliun. 

SBN mendominasi utang pemerintah hingga Juni 2021, seperti tergambar dalam databoks di bawah ini. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, porsi kepemilikan perbankan di SBN yang membumbung sebenarnya menunjukkan bahwa bahwa bank kesulitan menjalankan fungsi intermediasi. Berdasarkan data OJK, penyaluran kredit hingga Juli 2021 hanya mencapai 0,5% secara tahunan, sedangkan dana pihak ketiga tumbuh 10,43%.

 “Perbankan saat ini mengakumulasi SBN dalam jumlah cukup tinggi, karena mereka kesulitan menjalankan fungsi intermediasi," kata Suahasil dalam Sarasehan 100 Ekonom, Kamis (26/8).

Hal ini, menurut dia, menjelaskan bahwa kondisi ekonomi belum sepenuhnya normal. Permintaan kredit saat ini masih lemah, terutama di tengah pembatasan mobilitas saat ini. Bank juga lebih selektif dalam menyalurkan kredit karena melihat risiko yang tinggi di tengah pandemi saat ini. 

Namun di sisi lain, menurut dia, pemerintah membutuhkan pembiayaan untuk mendanai APBN yang dieksekusi melalui penerbitan SBN. Obligasi negara pun menjadi alternatif bagi perbankan yang membutuhkan instrumen menguntungkan dengan risiko rendah.

“Kami harap ini jangka pendek dan kalau pemulihan ekonomi kembali terjadi, bank kami harapkan kembali menjalankan fungsi intermediasinya,” kata Suahasil.  

Ekonom Faisal Basri menjelaskan, sektor keuangan khususnya perbankan dapat dianalogikan sebagai jantung pada perekonomian. Jantung memiliki tugas menyedot darah dan memompakannya kembali ke sekujur tubuh. 

“Bank berfungsi menyedot dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, giro, dan tabungan. Dana yang terhimpun dipompakan kembali ke dalam perekonomian dalam bentuk pinjaman dan kredit,” ujar Faisal dikutip dari laman Faisalbasri.com

Ia mengatakan, jantung perekonomian Indonesia tak kunjung optimal, bahkan sejak sebelum krisis 1998. Kondisinya bahkan sangat lemah dibandingkan negara-negara tetangga dan rata-rata negara berpendapatan menengah bawah.  

“Wabah Covid-19 semakin memperlemah jantung perekonomian. Bank semakin kikir menyalurkan kredit, padahal dana masyarakat yang disedot terus mengalir deras,” katanya. 

Jika kondisi ini terus berlanjut, menurut Faisal, organ-organ perekonomian akan mengalami kesulitan karena kekurangan darah. “Jangan terlalu berharap akan segera terjadi pemulihan ekonomi,” kata Faisal. 

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement