• Surplus neraca perdagangan pada 2021 menembus US$ 35 miliar seiring ekspor yang mencetak rekor tertinggi. 
  • Kinerja ekspor mulai menurun, sedangkan impor meningkat pada Desember 2021.
  • Perlambatan ekonomi Cina dan pemulihan ekonomi domestik akan membuat surplus neraca perdagangan menyusut pada tahun ini.

    Indonesia mendapat 'durian runtuh' di tengah pandemi Covid-19 yang hingga kini belum menemui ujungnya. Booming harga komoditas akibat krisis energi mendorong kinerja ekspor mampu mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah pada tahun lalu. 

Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor sepanjang 2021 mencapai US$ 231,54 miliar, naik 41,8% dibandingkan 2020 sebesar US$ 163,1 miliar. Capaian ini juga melampaui rekor pada 2011 sebesar US$ 203,6 miliar. 

Kinerja impor juga cukup menggembirakan, naik 38,59% dari US$ 141,57 miliar pada 2020 menjadi US$ 196,2 miliar pada 2021. Surplus neraca perdagangan pun berhasil mencatatkan rekor tertinggi dalam 15 tahun terakhir mencapai US$ 35 miliar. 

Sebelum pandemi, kinerja ekspor sudah tertekan oleh perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Ekspor pada 2019 pun turun dari US$ 180 miliar pada 2018 menjadi US$ 167,53 miliar. Indonesia pun mengalami defisit perdagangan besar pada 2018 dan 2018 mencapai lebih dari US$ 12 miliar. 

Kinerja ekspor pun kian terpukul pada awal pandemi merebak. Namun demikian, kondisi Ini hanya berlangsung sementara.

Pada semester kedua 2020, kinerja ekspor justru berbalik. Ini terjadi seiring pemulihan ekonomi Cina yang dimulai pada kuartal kedua 2020 saat dunia justru berjibaku menghadapi puncak kasus gelombang pertama. Pemulihan ekonomi Cina mendorong kenaikan harga komoditas. 

Harga komoditas semakin tinggi seiring pemulihan ekonomi di lebih banyak negara dan mulai terjadinya krisis energi.  Harga batu bara dunia meroket 85,63% sepanjang tahun lalu dan ditutup di US$ 151,7 per ton. Harga komoditas andalan Indonesia ini bahkan sempat berada di atas US$ 200/ton sebelum melandai memasuki akhir tahun.

Lonjakan harga juga terjadi pada kenaikan harga komoditas lainnya. Harga timah melesat 92%, nikel 24%, CPO 38,97%, dan minyak mentah 53,54%. 

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, rekor surplus neraca perdagangan Indonesia yang mencapai US$ 35 miliar terutama didorong oleh kinerja perdagangan dengan Cina. Nilai perdagangan kedua negara pada tahun lalu mencapai US$ 110 miliar. 

“Meskipun masih terjadi defisit US$ 2,45 miliar dolar AS, defisit tersebut merupakan yang terendah sejak ditandatanganinya ASEAN-China Free Trade Agreement pada 2007,” ujar Lutfi pada Selasa (18/1) dikutip dari Antara. 

Defisit perdagangan antara Indonesia dengan Cina turun dibandingkan tahun 2020 yang mencapai US$ 7,8 miliar. Ini melanjutkan tren penurunan sejak 2019 yang bahkan mencatatkan defisit mencapai US$ 16,9 miliar. 

BPS mencatat, ekspor nonmigas terutama disumbang oleh komoditas bahan bakar mineral dengan kontribusi mencapai 14,98% atau US$ 32,84 miliar, serta lemak dan minyak hewan nabati mencapai 14,97% atau US$ 32,82 miliar. Kedua jenis barang ini paling banyak diekspor ke Cina. 

Selain itu, Cina juga banyak mengimpor besi dan baja dari Indonesia. Ekspor komoditas ini ke Cina naik 69,83% menjadi US$ 10,07 miliar. 

Setelah Cina, Indonesia mencatatkan perdagangan terbesar kedua dengan Amerika Serikat sebesar US$ 37,07 miliar.  Meski nilainya tak sampai sepertiga perdagangan Indonesia dengan Cina, Indonesia berhasil mencatatkan surplus dari AS mencapai US$ 14,52 miliar. Adapun ekspor ke AS pada tahun lalu mencapai US$ 25,77, sedangkan impor dari AS mencapai US$ 11,25 miliar dolar AS.

Efek Besar Perlambatan Cina

Berkah surplus besar neraca perdagangan tahun lalu tampaknya sulit terulang pada tahun ini. Ekonomi Cina yang menjadi tumpuan ekspor Indonesia menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang signifikan. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement