Hampir seluruh proyeksi ekonomi dari berbagai lembaga ekonomi dunia memberikan gambaran kecemasan dan ketidakpastian global selama 2020. Perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang tak kunjung usai menjadi akar ketidakpastian.
Efek konflik kedua negara tersebut membuat volume perdagangan dunia menyusut, harga komoditas yang anjlok sehingga pertumbuhan ekonomi global tertekan. Belum usai perang dagang, ketegangan hubungan Amerika-Iran di awal 2020 menambah situasi bertambah genting.
Pelambatan ekonomi akan menghantam semua negara, termasuk Indonesia. Perekonomian dalam negeri tahun ini diperkirakan lebih landai dibandingkan 2018 atau 2019. Meski begitu, masih ada harapan menumbuhkan ekonomi dalam negeri dengan fokus menggenjot pasar domestik.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani menilai di tengah ancaman ekonomi global terdapat beberapa peluang bisnis dalam negeri, mulai dari sektor pariwisata, ekonomi digital, hingga ekonomi kreatif. Katadata memotret lima sektor bisnis yang berpeluang menjadi harapan di tengah kelesuan ekonomi.
(Baca: Pemerintah Bakal Hadapi Tantangan Berat Kerek Pertumbuhan Ekonomi 2020)
Shinta menilai berbagai insentif dari pemerintah di bidang perpajakan akan membantu sektor usaha menghadapi pelambatan ekonomi. Pemerintah di antaranya telah memberikan fasilitas pembebasan pajak dalam waktu tertentu atau tax holilday dan fasilitas pengurangan pajak atau tax allowance.
Hingga November 2019 tax holiday diberikan kepada 44 perusahaan dengan investasi mencapai Rp 519 triliun. Adapun 158 persetujuan fasilitas tax allowance disodorkan kepada 149 wajib pajak dengan penanaman modal mencapai Rp 258,8 triliun.
Selain kedua fasilitas pajak tersebut, pemerintah menyiapkan pengurangan pajak dalam jumlah besar atau super deduction tax. Fasilitas akan dinikmati oleh perusahaan yang mendorong pengembangan riset dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
(Baca: Menakar Angin Segar Sektor-sektor Primadona di Bursa Saham)
Shinta mewanti-wanti, insentif pajak tersebut tidak cukup apabila tak dibarengi kemudahan perizinan usaha. Pengusaha menunggu realisasi pembenahan perizinan lewat mekanisme Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law di bidang perpajakan dan tenaga kerja.
“Insentif dibutuhkan untuk mendorong swasta agar tetap menciptakan lapangan pekerjaan. Yang paling utama pembenahan perpajakan dan ketenagakerjaan,” kata Shinta beberapa waktu lalu.
Menarik Cuan dari 5 Bali Baru
Menjelang penutupan akhir 2019, pemerintah mengumumkan konsorsium Changi Airports International Pte Ltd, Changi Airports MENA Pte Ltd, dan PT Cardig Aero Service sebagai pemenang tender pengembangan Bandara Komodo di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Konsorsium asal Singapura tersebut terpilih untuk mengembangkan bandara dengan kebutuhan investasi Rp 1,23 triliun dan operasional bandara yang diperkirakan Rp 5,7 triliun. Sebagai kompensasi, pemerintah akan menyerahkan pengelolaan Bandara Komodo kepada konsorsium ini selama 25 tahun.
Changi Airports dan Cardig bakal mengubah bandara di Labuan Bajo menjadi berskala internasional. Landasan terbang hendak diperpanjang hingga 2.750 meter dalam dua tahun ke depan. Targetnya, pesawat berukuran menengah dapat mendarat di sana sehingga membuka peluang penerbangan langsung luar negeri dari Tiongkok dan Jepang.
Labuan Bajo merupakan salah satu dari lima destinasi wisata super prioritas. Di luar itu ada Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Likupang di Sulawesi Utara.
Pada tahun ini, Presiden Joko Widodo alias Jokowi menggandakan anggaran infrastruktur untuk pengembangan lima destinasi Bali Baru hingga lima kali dibandingkan 2019 menjadi Rp 10,1 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 7,6 triliun dan Kementerian Perhubungan senilai Rp 2,5 triliun.
Jokowi meningkatkan anggaran infrastruktur karena menilai terdapat masalah akses konektivitas menuju destinasi wisata. Banyak infrastruktur yang perlu dibenahi, baik terminal, bandara -termasuk runway yang kurang panjang- konektivitas jalan menuju tempat wisata, dan dermaga pelabuhan.
“Saya sudah sampaikan pada menteri tahun depan harus diselesaikan. Karena ada peluang besar untuk menarik wisatawan dari mancanegara yang diharapkan menghasilkan devisa sebanyak-banyaknya,” kata Jokowi dalam Rapat Terbatas beberapa waktu lalu.
Selama ini sektor pariwisata menjadi penyumbang utama devisa negara. Pada 2017, devisa dari pariwisata US$ 15,24 miliar dan tahun berikutnya melonjak ke US$ 19,29 miliar. Pencapaian pada 2018 melebihi dari target US$ 16,1 miliar, di antaranya karena dampak perhelatan Asian Games.
Berdasarkan riset World Economic Forum, indeks daya saing pariwisata Indonesia memang menunjukkan perbaikan, seperti tergambar dalam Databoks berikut:
Badan Pusat Statistik mencatat dari Januari hingga November 2019, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 14,92 juta orang. Hingga akhir tahun lalu diperkirakan menyentuh 16,3 juta atau sedikit meleset dari target 18 juta.
Melihat perkembangan itu, pemerintah menjadikan pariwisata sebagai salah satu prioritas utama dalam perolehan devisa pada 2020. Targetnya mendatangkan 20 juta wisatawan mancanegara dengan proyeksi perolehan devisa sebesar US$ 17,6 miliar.
Perolehan devisa ini merupakan salah satu tumpuan pemerintah untuk menurunkan defisit neraca transaksi berjalan atau current account defisit yang terjadi lantaran kinerja ekspor melambat.
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro menyatakan langkah pemerintah mendorong pengembangan pariwisata sudah tepat. Potensi turis domestik dari kalangan menengah atas juga perlu lebih diperhatikan karena selama ini mereka memilih pelesir ke luar negeri. “Orang Indonesia semakin tinggi pendapatannya semakin mau berlibur ke Singapura, Hong Kong, dan Jepang, bukan ke lokal” kata Andry.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan berlibur wisatawan lokal yakni harga tiket pesawat yang melonjak karena tingginya avtur. Menurut perkiraan Bank Mandiri, harga minyak mentah (brent) pada 2020 sekitar US$ 64 per barel atau relatif flat dibandingkan dengan 2019 yang mencapai US$ 63 per barel.
Geliat Industri Petrokimia
Industri petrokimia memiliki harapan tumbuh mulai 2020 setelah stagnan selama 20 tahun. Titik baliknya ditandai dua peristiwa penting pada 2019. Pertama, beroperasinya pabrik milik PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. di Cilegon Banten pada awal Desember lalu. Kedua, pemerintah melalui Pertamina menguasai PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), anak usaha PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro/TPI).
Industri kimia kerap dianggap sebagai mother of industry, karena karena peran strategisnya dalam menyediakan bahan baku bagi hampir seluruh industri hilir. Beragam sektor manufaktur menggunakan bahan baku petrokimia seperti industri kemasan, tekstil, alat rumah tangga, hingga komponen otomotif dan elektronika.
Selama ini, Indonesia mengandalkan impor bahan petrokimia sehingga menambah beban defisit neraca perdagangan. Pada 2018, nilai defisit produk petrokimia Rp 193 triliun dengan rincian ekspor petrokimia Rp 124 triliun dan impor Rp 317 triliun. Berikut Databoks defisit perdagangan:
Khusus untuk produk polyethylene – bahan dasar pembuat plastik - defisitnya US$ 1,45 miliar atau setara Rp 20,34 triliun. Setiap tahun, kebutuhan polyethylene dalam negeri mencapai 2,3 juta ton per tahun, sementara kapasitas produksi hanya 780 ribu ton atau defisit yang harus diimpor sebanyak 1,52 juta ton.
Beroperasinya pabrik baru Chandra Asri dengan jumlah produksi hingga 1,19 juta ton per tahun akan mengurangi ketergantungan impor polyethylene hingga Rp 8 triliun per tahun. Presiden Jokowi yang meresmikan pabrik Chandra Asri senilai US$ 380 juta atau Rp 5,3 triliun berharap industri petrokimia Tanah Air terus tumbuh.
“Saya optimistis 4-5 tahun lagi kita tidak lagi mengimpor barang petrokima, justru kita ekspor,” kata Jokowi.
Sementara itu penambahan kepemilikan saham pemerintah lewat Pertamina pada TPI dari 70% menjadi 96% membawa angin segar dalam pengembangan industri petrokimia domestik. Dengan porsi kepemilikan saham tersebut, Pertamina menjadi pengendali kilang minyak TPPI.
Optimalisasi kilang TPPI diproyeksikan menggenjot produksi petrokimia sehingga bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri sampai 80%. Kapasitas produksi kilang TPPI saat ini terdiri dari paraxylene sebesar 600 kilo ton per tahun (KTPA), benzene 200 KTPA, Orthoxylene 120 KTA, dan toluene sebanyak 100 KTPA.
Ke depannya, Pertamina bakal mengerjakan proyek pengembangan yang terdiri dari revamping platformer yang dimulai pada 2020 dan berproduksi tiga tahun kemudian dengan belanja modal sekitar US$ 36 juta. Selanjutnya, revamping aromatic pada 2020 dan produksi pada 2023 dengan belanja modal US$ 144 juta.
Perusahaan pelat merah ini juga merencanakan pembangunan unit LPG dengan estimasi belanja modal US$ 27 juta. Proyek ini bakal dikerjakan tahun ini dan ditargetkan berproduksi pada 2023. Selain itu, Pertamina bakal membangun Olefin Complex dengan belanja modal US$ 3,79 juta.
Total tambahan produksi dari proyek tersebut terdiri dari High Density Polyethylene (HDPE) sebesar 700 KTPA, Low Density Polyethylene (LDPE) 300 KTPA, dan Polipropilena (PP) 600 KTPA. Dengan pengembangan tersebut, Pertamina yakin dapat menghemat devisa dengan mengurangi impor hingga US$ 4,1 miliar pada 2030.
Penguasaan TPPI oleh Pertamina merupakan bagian dari restrukturisasi utang masa lalu TPPI. TPPI dirintis pada 1995 oleh PT Tirtamas Majutama yang kemudian diserahkan kepada pemerintah lantaran terlilit utang Rp 3,2 triliun kepada sejumlah bank saat krisis moneter 1998.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyatakan bahwa bisnis petrokimia bagi Pertamina merupakan solusi bisnis jangka panjang. "Wajar jika manajemen memutuskan untuk menggeser bisnis hilir mereka dari BBM ke petrokimia," kata Komaidi.
Bertabur Insentif di Sektor Pendidikan, bersambung ke halaman berikut....