Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merekomendasikan pencekalan terhadap direksi lama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018. Tujuan pencekalan ini untuk mempermudah investigasi dalam menyelesaikan masalah yang tengah membelit perusahaan asuransi pelat merah tersebut.
"Kami merekomendasikan penyelesaian kepada penegak hukum tetap dijalankan dan dimulai dengan melakukan pencekalan kepada direksi lama hingga ada kejelasan kasus," kata anggota komisi VI dari Fraksi Golkar Mukhtaruddin, saat Rapat Dengar Pendapat, di Gedung DPR, Senin (16/12).
Tak hanya itu, Komisi VI juga sepakat membentuk Panitia Kerja (Panja) dan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan permasalahan Jiwasraya.
(Baca: OJK Belum Kantongi Skenario Utuh Penyelamatan Jiwasraya)
Terkait permasalahan ini, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengatakan bahwa ketika mulai menjabat pada pertengahan 2019, dia menemukan permasalahan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun. Selain itu dia juga tidak pernah menemukan hasil audit keuangan perusahaan sebelumnya, kecuali audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2015.
Salah satu sumber permasalahan Jiwasraya misalnya, adanya produk dengan kebutuhan likuiditas yang tinggi yang menjanjikan return atau imbal hasil tinggi kepada nasabah. Namun, kenyataannya Jiwasraya tidak mampu mengembalikan dana investasi nasabah.
Menurut Hexana Jiwasraya tidak hati-hati dalam menginvestasikan premi. Beradasarkan aturan Otoritas Jasa Keungan (OJK), 30% premi harus diinvestasikan ke surat utang negara. Namun, Jiwasraya malah menempatkan sebagian besar investasi pada reksa dana dan saham.
(Baca: Kasus Jiwasraya, DPR Bakal Panggil Erick Thohir dan Dua Bank BUMN)
"Sebab, kalau pakai surat utang negara itu tidak akan pernah mengejar janji return ke nasabah. Makanya, ke saham dan reksa dana saham," ujar Hexana.
Lalu, dia juga menemukan adanya kesalahan laporan keuangan pada 2017. Sebelumnya, perusahaan mengklaim untung Rp 24 triliun. Sedangkan, ketika di audit, ditemukan adanya kekurangan perhitungan cadangan sampai Rp 13,5 triliun. Ditambah, perusahaan tidak melakukan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG).
"GCG tidak diterapkan dengan baik, jadi tidak ada kontrol yang baik. Audit investasi bahkan tidak ada selama ini, baru ada 2018," kata dia.
(Baca: Jadi Korban Jiwasraya, Bos Samsung Indonesia Mengadu ke DPR)