Membaca Peluang & Dampak Banyaknya Pabrik Relokasi dari Tiongkok

ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/hp.
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat meninjau Kawasan Industri Terpadu Batang dan Relokasi Investasi Asing ke Indonesia, di Kedawung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020).
Penulis: Sorta Tobing
21/7/2020, 14.08 WIB

Pembuat produk kebersihan, Saraya, juga akan mendapat subsidi pemerintah. Perusahaan yang memproduksi suku cadang, obat-obatan, dan produk kertas, seperti Sharp, Shionogi, Terumo, dan Kaneka, akan kembali ke negara asalnya.

Pemerintah Jepang mengalokasikan 220 miliar yen dalam anggaran tambahan tahun ini untuk program subsidi yang mendorong perusahaan memindahkan pabrik ke Jepang. Dari jumlah itu, senilai 23,5 miliar yen disisihkan untuk mempromosikan diversifikasi produksi dari Tiongkok ke Asia Tenggara.

AS pun sedang melakukan hal serupa. Sebenarnya negara ini terlebih dulu yang melakukannya setelah Presiden Donald Trump melancarkan perang dagang dengan Tiongkok pada 2018. Pertaruhan untuk membawa manufaktur kembali ke negaranya semakin besar. Trump perlu memulihkan kondisi ekonomi negaranya di tengah pandemi Covid-19 dan tahun pemilu presiden.

Perubahan Rantai Pasokan Global Akibat Pandemi

World Economic Forum menuliskan rantai pasokan global telah berubah saat ini. Ada dua hal yang membuat hal itu terjadi. Pertama, populasi kelas menengah Asia Pasifik sudah melebihi satu miliar jiwa dan diperkirakan akan mencapai 66% kelas menengah dunia pada 2030.

Hal itu membuat pola konsumsi yang biasanya terjadi di Barat dan produksi di Timur akan berganti sebaliknya. Akibatnya, Tiongkok, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di kawasan itu akan terdampak paling besar karena posisinya sebagai pabrik dunia.

Kedua, pandemi dan perang dagang AS-Tiongkok menyebabkan gelombang populisme meluas di seluruh dunia. Berbagai kebijakan yang dilakukan di berbagai negara justru membalikkan upaya globalisasi dengan mengenakan tarif yang kaku, fragmentasi blok perdagangan, bahkan kemungkinan perang mata uang. Artinya, deglobalisasi bakal membuat pergerakan barang menjadi terbatas.

Laporan terbaru dari EY memberikan gambaran sekilas terhadap para eksekutif di Asia Pasifik terhadap rantai pasokan global. Dari hasil survei ini, sebanyak 67% responden mengambil langkah mengubah supply chain. Sebanyak 55% responden berencana mengubah manajemen tenaga kerja, 47% bakal mengganti kecepatan otomatisasi, dan 39% akan mengubah transformasi digital.

Untuk manufaktur garmen, para pebisnis memilih lokasi di Bangladesh, Kamboja, dan Pakistan. Lalu, mereka memilih Vietnam untuk produk elektronik. Dan semakin banyak yang memilih Thailand dan Indonesia untuk produk mainan.

Sementara, Tiongkok tidak lagi menjadi pilihan karena upah tenaga kerjanya semakin mahal. Untuk mempertahankan produktivitas dan margin keuntungan, pabrik-pabrik di sana harus mempercepat adopsi transformasi digital dan otomatisasi. Termasuk dalam hal ini adalah robot produksi, jaringan 5G untuk perangkat internet of things (IoT), kecerdasan buatan, dan kemampuan digital.

Karena itulah pada saat Kongres Rakyat Nasional di akhir Mei lalu, Beijing membuat komitmen tambahan senilai US$ 1,4 triliun untuk infrastruktur teknologi dalam lima tahun ke depan. Hal ini memperkuat gagasan bahwa Tiongkok sedang menggandakan teknologi untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya di jangka panjang.

Nah, negara-negara tetangganya nanti diperkirakan akan bersaing ketat mengambil pabrik-pabrik yang sudah ditinggalkan Tiongkok. Pabrikan besar Korea telah lama memantapkan produksi barang elektronik mereka di Vietnam. Untuk komponen elektronik khusus seperti hard disk drive (HDD), Thailand sudah menjadi rumah bagi lebih dari 70% dari semua produksi di seluruh dunia.

Halaman:
Reporter: Tri Kurnia Yunianto